Tak Butuh Guru Gurunya Allah Dan Rasulullah

"Belajarlah kamu semua, dan mengajarlah kamu semua, dan hormatilah guru-gurumu, serta berlaku baiklah terhadap orang yang mengajarkanmu." (HR Tabrani)

Dewasa ini timbul pendapat pada sebagian masyarakat mengatakan bahwa ilmu-ilmu dalam Islam dapat dipelajari sendiri tanpa harus memiliki sanad.
Belajar agama tanpa guru sangat rawan gagal paham dalil agama, banyak kelirunya dan mudah ditipu setan, ya karena di gurui setan. Syaikh Abu Yazid al Bustamiy (wafat 261 H) mengatakan:
من لم يكن له شيخ فشيخه الشيطان
“Barangsiapa tidak memiliki guru maka gurunya adalah syaithan.” (Tafsir Rûhul Bayân, 5/264).
Allah berfirman, “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggung jawabannya.” (QS. Al-Israa’:36)

 Sesorang ingin mengetahui makna al-Qur’an tanpa belajar dan tanpa bimbingan guru, akan menemui kesulitan. Sebab lafadz al-Qur’an bisa berupa metafora, mengandung makna ganda, dan sifatnya global. Sehingga perlu rincian untuk menemukan hakikat makna sesungguhnya. Begitu pula berlaku dalam belajar fikih, hadits dan lain-lain. Selain itu, seseorang akan mudah ditipu oleh ‘penjahat agama’ bila dia belajar tanpa guru. ‘Penjahat agama’ akan memberi mempengaruhi cara berpikir. Karena tidak ada figur yang dianuti, ia bisa terpleset logika sesat.
Ironisnya, kelompok ini dalam praktek belajar ilmu-ilmu agama hanya terpaku kepada selebaran, buletin, jurnal, browsing internet, secara virtual , dan berbagai media elektronik lainnya. Kemudian secara tiba tiba menjadi ustadz membuka majlis, halaqoh, disitu menafsiri alquran maupun hadits lalu berfatwa dengan semaunya. Bahkan ada yang menganggap belajar seperti itu adalah belajar langsung dari Allah dan Rasulullah.. Kentir pancen Hehehe...
Betul, kita tindak mengingkari ada banyak nilai-nilai positif dari media teknologi yang di manapun dan kapanpun dapat kita “nikmati”, sebagaimana kita juga tidak bisa menutup mata dari sisi-sisi negatifnya.
Akan tetapi, seharusnya kita tetap memposisikan media teknologi informasi tersebut murni sebagai pembawa “Informasi” yang sangat butuh kepada klarifikasi (tabayyun) , tidak menjadikannya guru utama (guru besar), atau menjadikannya sebagai rujukan apapun dalam segala pengetahuan, termasuk ilmu-ilmu agama. Kita semua yakin bahwa media internet dengan segala konten di dalamnya mengandung berbagai sisi baik, juga mengandung sisi buruk. Kalau boleh sedikit “kasar” kami menyebutnya laksana silit bebek; kadang yang keluar telor kadang kotoran yang keluar, atau tong sampah; di dalamnya apapun ada.

Sesungguhnya, seorang yang memiliki sanad maka berarti ia dapat mempertanggungjawabkan kebenaran cara beragama yang dipraktekannya. Sikap apriori dari beberapa kelompok masyarakat kita yang “anti” terhadap naskah-naskah klasik (Kitab
Kuning) tidak lain adalah karena didasarkan kepada hawa nafsu belaka dan karena mereka sendiri tidak memiliki sanad dalam keilmuan dan dalam cara beragama mereka, moh lama lama ngaji tapi ingin cepat pandai dan bisa jadi ustadz.

Ada pula sebagian orang pada masyarakat kita mengatakan bahwa mereka tidak butuh kepada mendapat para ulama terdahulu dengan alasan bahwa mereka sendiri telah dapat memahami teks-teks syari’at. Bahkan terkadang ungkapan mereka ini diselingi dengan “caci maki” terhadap para imam madzhab empat, atau terhadap para ulama terkemuka lainnya. Biasanya mereka membuat propaganda dengan slogan-slogan “ngawur”, seperti: “Kami tidak membutuhkan madzhab”, atau: “Madzhab kami hanya al-Qur’an dan Sunnah”, atau kadang mereka berkata: “ Nahnu Rijâlun Wa Hum Rijâlun (Kita manusia dan mereka –para ulama– juga manusia)”, atau: “Sumber kita murni; al-Qur’an dan Sunnah, kita tidak mengambil dari karya- karya para ulama (kitab kuning)”.

Bahkan ada yang lebih parah dari itu semua dengan mengatakan bahwa ILMU YANG TELAH DIBUKUKAN ULAMA2 KLASIK SEPERTI NAHWU, SHOROF, MANTHIQ, BALAGHOH, USHUL. FIQIH adalah BID’AH DLOLALAH. Na’udzu Billah.
Perkataan orang-orang semacam ini justru menegaskan bahwa mereka tidak paham terhadap kandungan al-Qur’an dan Sunnah.
Segala praktek ibadah dan keyakinan orang-orang semacam ini patut dipertanyakan. Dari manakah ereka memahami teks-teks syari’at? Siapakah yang telah membawa teks-teks syari’at tersebut hingga turun kepada mereka? Atau kita mulai dengan pertanyaan sederhana ini; “Apakah mereka faham  ahasa Arab?”, “Apakah mereka hafal dan faham ayat-ayat dan hadits ahkam dengan berbagai aspek di dalamnya; semisal ‘am khash, mutlaq muqayyad, nasikh mansukh, sabab an-nuzul dan lainnya?”, Tahukan mereka apa definisi istiqro’ dan istibra’ ? Apakah mereka merasa lebih paham terhadap ajaran
agama ini dibanding para ulama? Sungguh sangat “mengkhawatirkan”, jangan-jangan mereka yang sangat anti terhadap madzhab tidak mengetahui berapa rukun wudlu mengingat hal tersebut tidak dijelaskan secara shorih oleh Al Qur-an dan Al Hadist. 
Ada sedikit cerita mengenai orang yang anti terhadap guru bahkaan dia dengan entengnya mengatakan bahwa mempelajari ilmu cukup dengan membaca.
Tuma al-Hakim adalah seorang tabib (dokter) yang menjadi simbol kebodohan pada masa itu. Ayahnya adalah seorang dokter. Setelah orang tuanya meninggal dunia, ia mewarisi banyak buku kedokteran milik orang tuanya tersebut. Ia pun sibuk menelaah buku-buku tersebut, dan dia membaca dibuku tersebut:

الحَبَّةُ السَّوْدَاءَ شِفَاءٌ مِنْ كُلِّ دَاءٍ
habbatusauda (jintan hitam) adalah obat untuk segala penyakit (HR. al Bukhary)

Namun ternyata kitab yang ia baca sudah usang atau mengalami kesalahan saat ditulis, sehingga satu titik huruf ba menjadi dua titik, jadilah dia baca:

الحَيَّةُ السَّوْدَاءَ شِفَاءٌ مِنْ كُلِّ دَاءٍ
yang artinya adalah ular hitam adalah obat untuk segala penyakit.

akhirnya ia meninggal dunia karena digigit ular hitam saat pergi mencarinya untuk obat, sedangkan dalam riwayat yang lain disebutkan bahwa ia menyebabkan kematian banyak orang karena memberi mereka obat yang terbuat dari olahan ular hitam.
Itulah akibat keangkuhan dan kesombongannya tidak mau berguru.
Coba kita bayangkan, padahal kesalahan tulisan hanya terjadi pada jumlah “titiknya” saja… lantas kalau kesalahan terjadi pada huruf atau mungkin bahkan lafadznya apa yang akan terjadi,???


Wallahu A’lam

Comments

Popular posts from this blog

Wali Malamatiyyah

Bait Syair Yang Terukir Di Gembok Makam Rasulullah SAW

Pemimpin Cerminan dari Rakyatnya