Allah Diantara Kepentingan
Topik penting untuk dibaca:
Alkisah, ada dua orang hamba Tuhan yang sangat giat berdoa. Keduanya sama-sama khusyuk memanjatkan doa di setiap munajatnya. Bahkan tidak jarang, keduanya menumpahkan air mata ketika sedang asyik masyuk memohonkan permintaan-permintaannya. Ketika orang pertama berdoa, Tuhan langsung menjawab dengan lekas mengabulkan permohonannya. Berbeda dengan orang kedua, Tuhan seolah tidak menggubris sedikitpun tentang apa yang menjadi permohonannya.
Suatu hari, malaikat merasa heran dengan kebijakan Tuhan yang seperti itu. Bahkan malaikat merasa, orang kedua lah yang harusnya segera dikabulkan karena dilihatnya orang kedua lebih membutuhkan jawaban atas setiap doanya. Sebagai makhluk yang sangat dekat dengan Tuhan, malaikat mencoba memberanikan diri bertanya kepada Tuhan. “Wahai Tuhanku, kenapa Engkau tidak segera mengabulkan doa orang itu? Padahal kami lihat sendiri bahwa orang kedua itu sangat membutuhkan engkau mengabulkan doa-doanya”, tanya malaikat. Kemudian Tuhan dengan segala kabijaksanaan-Nya menjawab, “Aku segera mengabulkan doa hambaku yang pertama, karena aku tidak rela dia berlama-lama menyebut namaku. Aku biarkan dia merasa puas dengan kukabulkan segala keinginan-keinginannya. Sedangkan aku tidak mengabulkan doa hambaku yang kedua, karena aku ingin berlama-lama mendengar doa mesra munajatnya yang ia panjatkan kepadaKu. Aku rindu tiap hari mendengar suaranya dan Aku biarkan dia datang kepada-Ku setiap waktu”.
Kisah itu adalah nasehat dari tokoh Sufi besar yaitu Maulana Jalaluddin Rumi dalam salah satu kitabnya, Matsnawi.
Kisah di atas digambarkan oleh Rumi agar kita tahu bahwa seringkali Allah memiliki maksud lain dari segala apa yang menimpa kita. Manusia memang seringkali mengukur kedekatan dengan Allah dari makhluk yang bernama kesenangan, kepuasan, dan kelebihan.
Dalam surah Al-Fajr, Allah dengan jelas mengatakan, “Maka apabila Tuhan menguji dengan kesenangan, manusia akan berkata ‘Tuhanku telah memuliakan aku’ dan apabila Tuhan menguji dengan kekurangan, manusia segera berkata, ‘Tuhan sedang menghina aku’. Tidak, Sungguh tidak demikian."
Dari ayat tersebut kita bisa mengerti bahwa limpahan Rahmat Allah itu tidak selalu berbentuk kesenangan, sebaliknya bahwa murka Allah itu tidak selalu berbentuk kekurangan.
Ayat 216 Surah Al-Baqarah juga memberikan gambaran yang senada, Allah berfirman, “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui sedangkan kamu tidak mengetahui."
Manusia memang demikian, seringkali Allah hanya kita posisikan sebagai pengabul keinginan-keinginan subjektif kita. Ketika Allah sudah mengabulkan doa kita, lantas kita buru-buru bergembira dan menduga dirinya sangat dekat dengan Allah. Lebih dari itu, menusia meluapkan kegembiraannya sambil menuding orang yang sedang kesulitan, kekurangan, kelaparan, dan berbagai musibah lainnya sebagai orang yang sedang jauh dengan Allah. Padahal, rumusnya tidak seperti itu kata Allah.
Tujuan kita hidup ini adalah kembali keharibaanNya. Dan modal utama dalam menjalani laku hidup ini adalah cinta. Allah pernah bersabda kepada Nabi Muhammad saw, bahwa jika mereka (manusia) cinta kepadaKu, suruh mereka mengikuti jalanmu (Muhammad).
Jadi keberangkatan kita dalam hidup adalah keberangkatan cinta. Ketika kita sudah memiliki rasa cinta kepada Allah, maka kita akan terlepas dari pretensi dan dugaan yang sangat subjektif dari sudut pandang kita.
Allah mengabulkan ataupun tidak mengabulkan permohonan kita itu dalam rangka untuk menguji penghayatan cinta kita kepadanya. Bagi orang yang sudah mencintai Allah, hidup itu tidak sekedar ada atau tidak, kurang atau lebih, sulit atau mudah, senang atau sedih. Bagi mereka hidup sudah harus melampaui itu yaitu hidup adalah menghayati perasaan cinta kita kepada Allah.
Saya ingat sebuah Syair yang terkenal dari tokoh Sufi perempuan yang sangat masyhur, Rabi’ah Al Adawiyah yang berbunyi:
"Ya Allah, jika aku menyembah-Mu karena takut neraka, maka bakarlah aku di dalamnya
Dan jika aku menyembah-Mu karena mengharap surga, campakkanlah aku darinya
Tetapi, jika aku menyembah-Mu demi Engkau semata.
Janganlah Engkau enggan memperlihatkan keindahan wajah-Mu."
Berapa banyak nanti orang yang akan dimasukkan ke dalam Surga-Nya, tapi Allah enggan untuk sekedar menyapanya. Hanya sekedar menyapa saja Allah enggan kepada orang-orang tersebut, lantas bagaimana Allah akan memperlihatkan Sinar Wajah-Nya yang sangat kita rindukan. Bisa dibayangkan bagaimana kecewanya orang-orang tersebut tidak disambut oleh Sang Tuan Rumah Kehidupan.
Hidup memang tidak seperti yang kita bayangkan dan hidup memang tidak seperti yang kita inginkan. Bahkan, hidup bisa berlangsung sebagaimana yang kamu paling benci. Maka, dari pada kita sibuk dengan keinginan-keinginan subjektif kita, lebih baik kita serius mempelajari apa yang sebenarnya Allah kehendaki dari hidup kita.
Wallahua'lam
Baca juga topik ini:
Comments
Post a Comment