Perbedaan Pendapat Adalah Keniscayaan
Sudah menjadi rahasia umum jika dalam tubuh umat Islam terjadi perbedaan pendapat dan pandangan.
Berbeda yg dimaksud di dalam tulisan ini adalah berbeda dalam hal fiqh, bukan dalam hal syariat Islam. Menyalahi syariat Islam merupakan kesalahan yg sangat fatal karena menyelisihi dalil yang qath’i. Sedangkan jika berselisih hanya dalam ranah fiqh maka itu tidak disebut kesalahan fatal karena yg diperselisihkan adalah dalil yang bersifat dzanny (spekulatif/kesebalikan qot'i).
Kurangnya sikap toleransi dan menghargai perbedaan pendapat menjadi biang keladi mengeruhnya semangat ukhuwah islamiyah. Padahal jika perbedaan disikapi dengan arif bijaksana maka akan menciptakan nuansa atau kultur kehidupan umat Islam yg lebih berwarna. Apalagi letak perbedaan tersebut bukan sesuatu yg substansial (syariat), tetapi hanya yang bersifat furu’iyah (cabang) saja.
Dengan mengetahui tarikh (sejarah) dan sebab sebab terjadinya pendapat maka kita akan menjadi lebih terbuka dan lebih dewasa dalam memandang masalah khilafiyah dalam fiqh.
Secara bahasa, khilafiyah berasal dari kata ( خالف ) yang diartikan sebagai kebalikan dari sepakat. Sedangkan secara istilah, yang dimaksud dengan khilafiyah disini adalah perbedaan pendapat dalam umat Islam yang berkaitan dengan pengalaman beragama mereka (para mutjahid).
Khilafiyah dalam islam bukanlah produk baru. Telah 14 abad lamanya islam lahir dan berkembang hingga saat ini. Problematika khilafiyah bukan hanya dihadapi oleh umat masa kini, tetapi sudah ada sejak masa peradaban Islam muncul, bahkan pada masa sahabat. Meskipun secara kuantitas jarang ditemui, tetapi pada masalah tertentu para sahabat memiliki perbedaan pandangan.
Salah satu contoh perbedaan pendapat di kalangan sahabat ra , Abu Bakar berbeda pendapat dengan Umar bin Khatab soal harta rampasan perang. Abu Bakar berpendapat bahwa pembagian harta rampasan perang (ghanimah) dibagi secara merata untuk semua orang tanpa mengutamakan orang tertentu atas orang lain. Sedangkan menurut Umar, dalam pembagian harta rampasan perang perlu ada proses stratifikasi dimana pembagian tersebut berdasarkan peran yg dijalankan selama peperangan, jadi tidak dibagi secara merata.
Perbedaan baru terasa "kelam" setelah terjadinya fitnah besar dalam umat Islam yg menimbulkan perpecahan dalam golongan yg berbeda-beda, awalnya perpecahan tersebut hanya terjadi dalam ranah politik atau kekuasaan, tetapi lama² pecah juga dalam hal akidah, lalu juga berimbas dalam bidang ibadah (fiqh).
Barangkali kita sering bertanya-tanya, mengapa bisa terjadi perbedaan pendapat padahal dasar yang digunakan adalah sama (al Quran dan Sunnah)?
Seharusnya jika acuan hanya satu, maka juga akan terdapat satu prespektif saja dalam memaknainya.
Kita tidak membahas hal² apa saja yang terdapat dalam al Quran yg dimaknai beragam oleh para ulama. Tetapi kita akan bahas faktor² apa saja yg menyebabkan perbedaan pendapat dalam fiqh tersebut. Tetapi yang perlu digarisbawahi, perbedaan dalam fiqh yang dimaksud bukanlah perbedaan secara prinsipal seperti kewajiban shalat lima waktu, puasa, zakat, haji. Karena hal² tersebut merupakan syariat dan telah disepakati sehingga tidak diperselisihkan.
"Khilafiyah dalam fiqh"dapat terjadi karena beberapa faktor, diantaranya tentang bgaimana syarat suatu Hadits sehingga dapat diamalkan.
Masalah ini muncul menyangkut tentang hadits² yang bersifat ‘amaliyah, yaitu segala hal yg dilakukan oleh Rasulullah baik berupa perkataan (perintah untuk melakukan sesuatu) maupun perbuatan (yang dicontohkan). Problematika yg membahas keabsahan suatu hadits lalu dapat diamalkan. Implikasinya ialah terletak pada bagaimana derajad kesahihan suatu hadis sehingga dapat dijadikan hujjah untuk menggali dan mengeluarkan sebuah hukum dalam fiqh. Penetapan kesahihan inilah yg sering menimbulkan ikhtilaf, padahal hadits yang memiliki derajat kesahihan memiliki kriteria tertentu.
Kesenjangan tentang perbadaan pendapat tentang hadits dilatarbelakangi oleh perbedaan riwayat. Dalam periwayatan suatu hadits, tidak menutup suatu kemungkinan seorang ulama menerima suatu riwayat tentang suatu persoalan, tetapi tidak memperoleh riwayat yang shahih tentang masalah yang lain. Akibatnya ada ulama yang dengan terpaksa mengamalkan hadis yang kurang shahih, padahal ulama lain berpendapat bahwa hadits yang kurang shahih tidak dapat dijadikan hujjah.
Sumber hukum Islam adalah al Qur’an dan Sunnah dan semuanya berbahasa Arab. untuk memahaminya diperlukan pemahaman bahasa Arab yg baik. Lafal dalam al Quran maupun hadits terkadang memiliki beberapa makna. Ada kalanya lafadz dalam bahasa Arab bersifat musytarak (ambigu/ kemajemukan makna), haqiqah maupun majaz, kata umum merujuk kepada kata yang khusus dan sebaliknya, serta masih banyak yang lainnya.
Keterbatasan dalam memaknai makna dalil yang sesungguhnya selain karena al Quran ada yang bersifat mutasyabih, juga karena keterbatasan akal manusia itu sendiri. Setiap ulama memilki pendapat tersendiri dalam memaknai ayat yg mutasyabih tersebut. Sehingga perbedaan pendapat tidak dapat dihindarkan keberadaannya. Hal ini di setiap wilayah yang menggunakan bahasa Arab memiliki lajnah (dialek) yang berbeda serta pemaknaan suatu benda yang juga berbeda. Serta terkadang kurangnya penjelasan redaksi dari sumber hukum kedua yaitu hadits sebagai bayan(terang) al tafsir.
Setelah ilmu ushul fiqh muncul, muncul juga beberapa metode dalam rangka mengeluarkan hukum dari sebuah dalil. Selama ini kita mengenal bahwa sumber hukum Islam adalah al Qur’an, as Sunnah, Ijma’, Qiyas, Istihsan, Istishab, Urf dan lain sebagainya. Tidak ada yang membantah bahwa Qur;an dan Sunnah adalah sumber hukum Islam, begitu halnya dengan dengan ijma’. Akan tetapi dalam metode perumusan hukum yg dimulai pada qiyas terjadi banyak perbedaan pendapat.
Mereka yang menganut rasionalis (madzab Abu Hanifah) lebih condong menggunakan metode qiyas jika mendapati masalah yang tidak terdapat dalam hadis.
- Sedangkan madzab Maliki mereka menggunakan urf/ adat kebiasaan orang Madinah sebagai sumber hukum (dimana beliau melihat langsung anak cucu sahabat dalam beribadah) jika tidak mendapatinya di Quran maupun Sunnah.
- Safiiyah lebih mengedepankan ijma' para sahabat berbeda dengan mentornya yaitu imam Malik. Namun sebenarnya metode apapun yg dipakai tidak akan menyelisihi al Qur’an.
Adapun terkadang terdapat dua ayat atau lebih yg secara teks terlihat kontradiktif. Para ulama juga berbeda pendapat dalam proses penyelesaiannya. Ada yg menggabungkan dan mengkompromikannya (al-jamu’ al-taufiq). Ada pula yang menggunakan metode nasakh (pembatalan). Lalu yg lainnya dengan cara tarjih yaitu mencari dalil yg lebih kuat. Letak perbedaanya nantinya adalah pada urutan dan sistematika dalam penyelesaian dalil yang bertentangan (taarudh wal adillah).
Khilafiyah seringkali meuncul dari berbedanya para ulama dalam menguasai sunnah itu sendiri. hal ini dikarenakan tidak ada manusia yang sempurna, pasti pemahaman manusia tidak akan lengkap dan cenderung parsial. Kemampuan yg berbeda-beda ini sesungguhnya jika digabungkan akan membentuk pengetahuan yang luas, akan tetapi jika tetap dipelihara sebagaimana adanya, maka yg terjadi hanya ada perbedaan yang seakan tiada ujungnya. Selain itu sebagian ulama juga ada yg meralat fatwa yang telahdikeluarkan dikarenakan luputnya atas pengetahuan sebelumnya.
Adanya sekelompok muslim yang memiliki sifat intoleran terhadap pendapat orang lain ditengarai sebagai akibat dari kurangnya kesadaran bahwa memang perbedaan adalah suatu keniscayaan, kurangnya kesadaran tersebut karena seolah-olah ia sudah merasa menjadi orang yg paling benar, paling beriman dan paling diterima ibadahnya. Padahal dalam memahami dan menafsirkan itu masih mengandung relativitas, artinya tidak benar secara mutlak dan menyeluruh.
Fiqh memang berasal dari hal² yg bersifat furu’iyah yaitu hanya cabang. Meskipun demikian, tetapi dampak sosial yg ditimbulkan justru menjadi lebih besar dari bobot permasalahan itu sendiri. sering kita temui, hanya terjadi perbedaan sedikit saja langsung terjadi gap yang memisahkan antara umat satu dengan umat lainnya.
Memang dalam fiqh hanya membahas persoalan yg bersifat cabang saja. Akibatnya umat muslim yg eklusif (ngeyel) mempelajari fiqh hanya secara parsial saja. ulama² yang tradisional jika ditanya tentang suatu masalah, misalnya tentang sholat, maka yang dibahas hanya rukun, sunat, makruh dalam shalat. Dapat dikatakan bahwa jika ajaran Islam dipelajari dengan prespektif makna dan tujuan maka masalah² furu’ tidak akan mengganggu kerukunan antar umat Islam.
Dewasa ini banyak orang yang merasa sempurna dalam beribadah, mereka merasa apa yang dikerjakannya sudah sesuai dengan dalil yang diperintahkan dan yakin bahwa dialah satu-satunya yg diterima ibadahnya, sedangkan orang lain yang berbeda tidak akan diterima ibadahnya. Pemikiran tersebut telah membuat orang sampai rela berjauhan dengan saudara muslim lainnya lantaran berbeda dalam tatacara ibadah.
Jika kita cermati dan sadari, menjaga ukhuwah, persaudaraan dan tali silaturahmi hukumnya adalah wajib, sangat wajib. Sedangkan untuk masalah fiqh, selama bukan menyentuh syariat itu hukumnya hanya sunnah saja. Lalu secara logika, apakah kita akan meninggalkan perkara yg WAJIB demi perkara sunnah yang (masih relatif kebenaranya)?
Seringkali kita temui ada sekelompok aliran tertentu yg gemar menjelek-jelekkan umat muslim yang lain hanya lantaran berbeda. Contoh labeling yg sering kita dengar ialah julukan Islam tradisonalis, skriptualis, ahlul bid'ah, kuburriyun, dll.. Pelabelan² tersebut justru menciptakan jarak gol tertentu dengan umat muslim.
المسلم أخو المسلم لا يظلمه ولا يسلمه
Muslim itu bersaudara bagi muslim yg lainnya, Jangan menzaliminya dan jangan memasrahkannya
(Hr Bukhari, Muslim).
والله اعلم
Comments
Post a Comment