Benturan Ulama dalam Kontestasi Politik
Topik Penting: Cara Memilih Pemimpin Yang Baik Dalam Islam
• Syahwat Politik Kekuasaan
Jika anda hanya mengeja judulnya, bisa saja anda menganggap tulisan ini terlalu provokatif untuk dibaca, atau bisa juga muncul wacana untuk memihak satu kelompok ulama dan menyudutkan ulama lainnya. Anda pun mungkin juga akan mudah mengelaborasi fungsi ulama dan calon kontestan pemimpin daerah atau penguasa hingga mendapati keduanya berada pada dua sumbu yang berbeda. Barangkali anda juga mempunyai alasan kuat berdasarkan hadits Rasulullah saw. yang redaksinya kurang lebih: “Seburuk-buruk ulama adalah mereka yang mengunjungi para pemimpin, dan sebaik-baiknya para pemimpin adalah mereka yang mengunjungi ulama. Sebaik-baik pemimpin adalah ia yang berada di depan pintu rumah orang fakir, dan seburuk-buruk fakir adalah ia yang berada di depan pintu rumah pemimpin.”
Sekilas sabda Nabi saw. tersebut mengindikasikan ulama tidak pada tempatnya untuk mendatangi pemimpin, sebaliknya pemimpinlah yang secara moral-persuasive dituntut untuk mengunjungi ulama. Banyak orang telah merasa puas dengan memahami makna tekstual hadits ini, bahwa sepantasnya ulama tidak mengunjungi pemimpin agar tidak menjadi seburuk-buruk ulama.
Padahal singkatnya, sebagaimana dituturkan Maulana Jalaluddin Rumi, makna substansial hadits tersebut bukanlah seperti itu, melainkan bahwa seburuk-buruk ulama adalah mereka yang bergantung kepada para pemimpin, semua yang mereka lakukan demi mendapatkan simpati dari para pemimpin. Sementara ilmu yang mereka miliki, sejak awal diniatkan sebagai media agar dapat bercengkerama dengan para pemimpin. Agar diberi penghormatan dan jabatan yang tinggi, mereka pun mengubah dirinya dari bodoh menjadi berilmu semata-mata demi para pemimpin.
Sementara ulama yang hanya menyandarkan segala tindak tanduknya pada ridha Allah semata, yaitu yang menjadi sosok 'Alim bukan karena mengharapkan kekuasaan dan perhatian sang pemimpin, akan mampu menjaga tingkah laku, tabiat dan menjaga muruah keulamaanya. Ketika ulama seperti ini mengunjungi pemimpin, maka sejatinya dialah yang dikunjungi dan pemimpin adalah pengunjungnya. Karena dalam segala kondisi, pemimpin itulah yang memperoleh pertolongan, arahan dan manfaat darinya.
Hal di atas itu pada kondisi sudah berjalannya pemerintahan berkenaan dengan peran serta fungsi ulama dan umaro.
Yang akan saya bahas disini adalah kontestasi politik jelang Pemilihan Kepala daerah saat ini yang memunculkan kebingungan, kekhawatiran di sejumlah kalangan orang awan yang masih melihat ketokohan para Ulama. Mereka di buat bingung karena keberpihakan kelompok Ulama² itu pada calon² kontestan yang datang minta doa restu terseret dan ikut larut dalam keriuhan politik sehingga kehilangan daya untuk menjernihkan masyarakat. umat galau mau ikut ulama mana, mereka berbeda dukungan dan sama sama klaim kebenaran pada alasan langkahnya.
Kelompok Ulama yang seharusnya menjadi penjernih situasi malah ikut terseret arus politik praktis. Ahirnya terbentuk kelompok² Ulama dengan dukungannya masing². Kepentingan-kepentingan praktis sangat mendominasi sehingga kehilangan suara yang jernih, dan terabaikan fungsi pokoknya.
Bagaimana tidak, para ulama adalah orang-orang yang mengembara di ranah ilmu, kecerdasan, irfan (pengetahuan spritual), dan berbagai anugerah Allah lainnya. Mereka adalah sosok “dokter rohani” yang di harapkan bisa menunjukkan kepada kita jalan menuju kejernihan kalbu yang dapat menghidupkan hati yang mati. Mereka menjelajahi fisika hingga metafisika, matematika hingga etika, seni hingga tasawuf, kimia hingga spiritualisme, kosmologi hingga psikologi, hukum positif hingga fikih, serta politik hingga tarikat dan suluk.
Merekalah orang-orang yang seharusnya berkhidmat demi seluruh umat. Mereka membekali kita dengan berbagai hal bermanfaat dan keterampilan hidup. Semua demi mengangkat harkat kemanusiaan menuju kesempurnaan insan yang suci dari noda batin melalui pesantren-pesantren, sekolah, perguruan tinggi, tempat ibadah dan berbagai sarana lainnya.
Namun karena kontestasi politik menjelang pemilihan kepala daerah hilang peranannya, beralih menjadi simpatisan dan botoh.
Tanggung jawab strategis yang harus dipikul para ulama, dengan beragam tugas yang membebani pundaknya, akan terbengkalai sia-sia dan terabaikan bila label ulama hanya menjadi alat untuk mengekori kandidat calon pemimpin, untuk mengharapkan perhatian dan entah apa lagi yang saya tidak tahu. Dalam hal ini, ulama laksana matahari yang memberi kepada semua makhluk, menyulap gunung menjadi tambang-tambang tembaga dan emas, serta menjadikan bumi hijau bersemi. Pekerjaannya seperti diungkapkan peribahasa Arab: “Kami telah belajar untuk memberi, tidak untuk menerima.” Sehingga ulama inilah yang di dukung pemimpin atau calon pemimpin dan bukan sebaliknya.
Dan lagi ada hal yang sangat memalukan kalau di golongkan seorang ulama atau pengikut ulama, dan membuat kita
tertawa sebagai orang awam yang miskin ilmu, entah karena semangatnya dalam mendukung calonya, apa karena kebodohannya, apa menganggap ia berada pada salah satu barisan ulama pendukung calonya, kemudian berargumen untuk mengkampanyekan calonya dengan menyetir sebuah maqolah " ulama dan umaro bagaikan dua sisi mata uang yang tak terpisahkan satu sama lain", dengan semangatnya mengajak dan mendebat lawan dukungannya.
Hehehe kita tertawa sejenak.. Tidak ada yang salah dalam maqolah itu, namun sangat naif di tempatkan pada kondisi kontestasi politik yang baru akan dimulai beberapa bulan lagi.
Saya tidak akan bahas kelucuan itu karena hanya akan menampakkan kebodohan.
Calon² Pemimpin sudah tepat pada tempatnya meminta doa restu serta arahan ulama demi nantinya kalau terpilih menjadi pemimpin bisa mewujudkan tercapainya keadilan menjalani urusan pemerintahan. Karena bagaimanapun, ulama adalah unsur sosial yang dekat dan kerap bersama-sama memperjuangkan kepentingan rakyat. Sebagai pribadi yang tercerahkan, ulama adalah tempat yang selayaknya menjadi sandaran kepemimpinan penguasa.
Apalagi, jika berkaca kepada sistem demokratis negara kita, di mana kontrol kepemimpinan terletak di tangan rakyat. Maka sebaik-baik kontrol adalah yang datang dari rakyat yang tercerahkan. Petunjuk, arahan serta petuah ulama patut menjadi pertimbangan serius bagi calon pemimpin yang menghendaki keadilan. Dalam hal ini, calon pemimpin yang baik harus meninggikan moralitas politiknya. Hanya dengan kualitas etika moral yang baik, kelak kalau terpilih kepemimpinannya akan semakin profesional dan berintegritas. Dengan mengedepankan etika dan mengacu pada integritas, maka setiap saran dan petuah dari ulama yang diterimanya akan memacu kemajuan.
Posisi ulama yang begitu agung jangan sampai ternoda dan berubah arah pada kepentingan sesaat duniawi ketika di datangi calon² kompetitor pemimpin pemerintahan, dengan kemudian menjadi pendukung salah satu kompetitor dan tidak lagi netral menjadi pengayom.
Ulama adalah guru bagi para calon pemimpin atau pemimpin. Ulama harus memandang para calon² pemimpin dengan pandangan kasih sayang. Seperti guru atau orang tua yang menyayangi anak²nya tidak pilih kasih pada salah satu dengan mononjolkan keberpihakan atau dukungan pada salah satu anak²nya.
Ulama adalah guru bagi para penguasa atau calon penguasa.
Imam al-Ghazali mengatakan bahwa hubungan ulama dengan penguasa adalah ulama sebagai guru dan pengusa sebagai murid. Kepatuhan penguasa pada ulama sama seperti kepatuhan murid pada guru.
Nasehat ulama pada penguasa sama halnya nasihat guru kepada muridnya.
Imam al-Ghazali berkata
فالفقيه هوالعالم بقانون السياسة وطريق التوسط بين الخلق إذا تنازعوا بحكم الشهوات فكان الفقيه معلم السلطان ومرشده إلى طرق سياسة الخلق وضبطهم لينتظم باستقامتهم أمورهم في النياء …..الخ (إحياء علوم الدين-كتاب العلم الباب الثاني: في فرض العين وفرض الكفاية)
Sedangkan ahli fiqih atau ulama ialah orang yang tahu tentang undang-undang siyasah. Jadi, ahli fiqih atau ulama itu posisinya adalah gurunya sulthan atau penguasa dan tugas guru ialah menjelaskan atau meluruskan murid jika sang murid berjalan tidak sesuai materi undang-undang. (Ihya Ulumuddin; Juz 1, Hal 18)
والملك والدين توأمان فالدين أصل والسلطان حارس ومالا أصل له فمهدوم وما لا حارس له فضائع… (إحياء علوم الدين-كتاب العلم الباب الثاني: في فرض العين وفرض الكفاية)
Penguasa dan Ulama keduanya adalah sebagai anak kembar. Agama adalah pondasi, Penguasa adalah penjaganya, sesuatu yang tanpa pondasi akan mudah runtuh, dan sesuatu tanpa penjaga akan hilang. Keberadaan penguasa merupakan keharusan bagi ketertiban dunia, ketertiban dunia merupakan keharusan bagi ketertiban agama, dan ketertiban agama merupakan keharusan bagi tercapainya kesejahteraan akhirat. Degan demikian terdapat ikatan erat antara dunia dan agama bagi tegaknya wibawa dan kedaulatan negara melalui kepala negara yang ditaati dan yang mampu melindungi kepentingan rakyat, baik duniawi maupun ukhrawi. (Ihya Ulumuddin; Juz 1, Hal 18)
Berpijak dari rumusan Imam al-Ghazali yang berupa adanya ikatan kuat antara ulama sebagai guru dan penguasa sebagai murid maka adanya sebuah akhlak yang harus dilakukan keduanya seperti hadits Nabi: “Sesungguhnya saya bagimu adalah seperti orang tua kepada anaknya.” (HR. Abu Daud, An-Nasa’I, Ibnu Majah dan Ibnu Hibbah dari Hadits Abu Hurairah)
Hadits di atas merupakan salah satu hadits yang menerangkan tentang salah satu akhlak pendidikan terhadap anak didiknya sebagaimana kejelasan Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulumuddin bab ilmu, yaitu menganggap anak didik seperti anaknya sendiri.
Dalam masalah hadits di atas Imam al-Ghazali dalam kitabnya berkata:
(والوظيفة الأولى) الشفقة على المتعلمين وان يجريهم مجرى بنيه قال رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم “انما انالكم مثل الوالد لولده” بأن يقصد إنقاذهم من نار الآخرة….الخ (احياء علوم الدين باب علم)
Tugas guru yang ke satu ia hendaknya mencintai muridnya dan guru hendaknya mengasihi anak didiknya dengan memperlakukan mereka sebagai anaknya sendiri, Rasulullah Saw bersabda, “Sesungguhnya saya bagi kamu semua seperti bapak terhadap anaknya,” dan dengan tujuan menyelamatkan murid dari api neraka.
Imam Murtadlo Muhammad bin Muhammad al-Husainy Az-Zubaidy, dalam kitab Al-Ittihaf As-Sadah Al-Muttaqin syarah Ihya Ulumuddin menjelaskan maksud ucapan Imam al-Ghazali ialah:
(والوظيفة الأولى) من الوظائف السّبعة (الشفقة على المتعلمين) بصرف الهمة على ازلة المكروه عنهم (وان يجريهم مجرى بنيه) في تلك الشفقة (قال رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم “انما انالكم مثل الوالد لولده”)…..(بأن يقصد إنقاذهم) اي تخلصهم (من) عذاب (نار الآخرة وهو أهم من إنقاذالوالدين ولدهما من نار الدنيا) اي من مشاقها –إتحاف السادة المتقين بشرح إحياءعلوم الدين في باب العلم
Tugas guru yang ke satu dari tujuh beberapa tugas yang wajib dilakukan oleh guru ialah ia hendaknya mencintai muridnya dengan menghilangkan segala perasaan yang membencinya dan guru hendaknya mengasihi anak didiknya dengan memperlakukan mereka sebagai anaknya sendiri, Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya saya bagi kamu semua seperti bapak terhadap anaknya,” dan dengan tujuan menyelamatkan murid dari api neraka. (Al-Ittihaf As-Sadah Al-Muttaqin).
Menurut Imam al-Ghazali, ulama adalah guru bagi para penguasa. Maka ulama memandang para calon penguasa atau penguasa dengan pandangan kasih sayang. Seperti guru atau orang tua yang menyayangi anaknya. Penguasa menghormati ulama karena pengetahuan mereka yang mendalam tentang aturan kehidupan.
Imam Al Ghazali menyatakan :
“Dulu tradisi para ulama mengoreksi dan menjaga penguasa untuk menerapkan hukum Allah SWT. Mereka mengikhlaskan niat dan pernyataannya membekas di hati. Namun sekarang, terdapat penguasa yang tamak namun ulama hanya diam. Andaikan mereka berbicara, pernyataannya berbeda dengan perbuatannya sehingga tidak mencapai keberhasilan. Kerusakan masyarakat itu akibat kerusakan penguasa, dan kerusakan penguasa akibat kerusakan ulama. Adapun kerusakan ulama akibat digenggam cinta harta dan jabatan. Siapa saja yang digenggam oleh cinta dunia niscaya tidak mampu menguasai ‘kerikilnya’, bagaimana lagi dapat mengingatkan penguasa dan para pembesar.”
Nabi Muhammad Sallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:
“Akan ada setelah (wafat)ku (nanti) umara’/pemimpin(yang bohong). Barangsiapa masuk pada mereka lalu membenarkan (menyetujui) kebohongan mereka dan membantu/mendukung kezaliman mereka maka dia bukan dari golonganku dan aku bukan dari golongannya, dan dia tidak (punya bagian untuk) mendatangi telaga (di hari kiamat). Dan barangsiapa yang tidak masuk pada mereka (umara’ bohong) itu, dan tidak membenarkan kebohongan mereka, dan (juga) tidak mendukung kezaliman mereka, maka dia adalah dari golonganku, dan aku dari golongannya, dan ia akan mendatangi telaga (di hari kiamat)." (HR An-Nasaa’i)
Ulama adalah representasi fungsi kenabian yang bertanggung jawab untuk menuntun masyarakat, termasuk calon pemimpin atau pemimpin agar tetap di atas jalan yang benar, sebagaimana dijelaskan Rasulullah: Al-'ulama waratsatulanbiya (ulama adalah ahli waris Nabi). Ulama adalah representasi dan sekaligus pengawal ajaran Al-Quran dan hadits. Maka Politik ulama harus politik tingkat tinggi bukan politik pedagang kaki lima yang menjatuhkan muruah keulamaannya karena berharap mendapat syaiun qolil.
Politik kebangsaan yang harus di pakai seorang ulama sebagai bentuk rahmatan lil'aalamiin. Ulama adalah Umanaullah filardh.
Ulma adalah salah satu unsur tertinggi dalam kehidupan sosial masyarakat kita. Dalam sejarahnya, sudah banyak terjadi kekacauan yang berujung malapetaka akibat salah menempatkan posisi, akibat ketidak sepahaman antara ulama . Masyarakat pun semakin bingung kehilangan arah jalan karena para penunjuk mereka sudah tidak bersatu dalam cara pandangnya. Tentu hal seperti ini tidak kita inginkan terjadi di negeri kita tercinta. Kita bukan bermaksud membenturkan, tapi kita orang awam hanya ingin para ulama kita menjadi pengayom, penyejuk dari panasnya kondisi zaman, dan bersama sama mewujudkan kedamaian. Semoga!
Wallahu'alam
Comments
Post a Comment