Islam Asing Bukan Berarti Sedikit
Topik Penting:
Seseorang yang pindah (hijrah) dari sifat dan laku non-Islami menuju jalan hidup yang dianggapnya lebih Islami, memang kadang diselimuti "ke-galauan" ketika mendapati Hadits soal “asingnya lslam" adalah satu diantaranya.
Kondisi "galau" tersebut bukanlah masalah serius, menjadi "genting" ketika hadits yang sama digunakan oleh para jamaat manhaj wahabiyah.
Hadits keterasingan Islam, tertuang dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah yg berbunyi:
إنّ الإسلام بدأ غريبا وسيعود غريبا كما بدأ، فطوبى للغرباء
“Islam muncul dalam keadaan asing dan akan kembali dalam keadaaan asing, maka beruntunglah orang² yang asing”
Artinya bahwa islam dimulai dalam keadaan asing sebagaimana keadaan di Mekkah dan di Madinah ketika awal-awal hijrah. Islam tidak diketahui dan tidak ada yang mengamalkan kecuali sedikit orang saja.
Kemudian ia mulai tersebar dan orang-orang masuk (islam) dengan jumlah yang banyak dan dominan di atas agama-agama yang lain.
Islam Kembali Asing Setelah Zaman Nabi Isa dan Imam Mahdi
Terus bagaimana korelasinya dengan bersatunya kaum muslimin di bawah kepemimpinan Nabi isa dan Imam Mahdi ?
Maka dalam hal ini ada 2 hal yang perlu dilihat:
1. Asing disini sebelum hari kiamat tiba, dan Islam akan kembali asing di akhir zaman setelah masa kejayaan Imam Mahdi dan Nabi Isa sebagai Pemimpin Islam(setelah terbunuhnya Dajjal).
2. Kemudian pada masa Nabi Isa dan imam Mahdi (menjelang kiamat), kaum muslimin bersatu.
Setelah itu (setelah banyak muncul tanda-tanda besar kiamat) maka akan terjadi hari kiamat, dan tidak ada yang hidup pada masa itu kecuali orang-orang fasiq dan kafir (orang-orang beriman telah dicabut ruhnya oleh Allah Ta’ala) dan kembali Islam tinggal nama saja.
Kembali merujuk pada sejarah Islam awal, keadaan asing yang dimaksud cukup beralasan. Nabi diutus dengan ajaran tauhid di tengah masyarakat yang mayoritas menyembah banyak berhala. Islam datang dengan ajaran² yang sebagian besarnya asing di telinga masyarakat. Keadaan asing yang dimiliki oleh Islam awal ini cocok digambarkan dengan hadits di atas. Lantas bagaimana dengan keadaan Islam di masa sekarang ini sebelum munculnya dajjal, Imam Mahdi dan turunya Nabi Isa? Apakah akan betul² asing seperti awal kehadirannya?
Pertama, perlu kita "kompromikan" hadits tersebut dengan ayat 33 dari at-Taubah :
هو الذي أرسل رسوله بالهدى ودين الحق ليظهره على الدين كله ولو كره المشركون
(Huwalladzi arsala rasulahu bil huda wa dinil-haqqi liyuz hirahu 'alad dini kullihi walau karihal musyrikun).
"Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (al Quran) dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama, walaupun orang² musyrikin tidak menyukai".
Ayat di atas berbicara mengenai janji Allah yang akan memenangkan Islam atas kelompok lain. “Menang” di sini tentu masih butuh banyak penafsiran. Namun tetap saja, menang dan asing adalah dua hal yang bertolak belakang. Pemenang biasanya akan dikenal, atau yang dikenal biasanya adalah yang menang. Bagaimana mungkin Islam dalam keadaan asing, tapi menjadi pemenang?
Atau bagaimana mungkin Islam menang tapi tetap terasing?
Ada banyak tawaran untuk memaknai arti “asing” pada hadits tersebut. Salah satunya dengan mencerna riwayat Sahl bin Sa’d al Sa’idi. Berdasar riwayat tersebut, ada penambahan kalimat tanya yang berbunyi, “siapakah mereka yg asing itu?”
Rasul menjawab : “orang² yang mengadakan perbaikan di tengah manusia yg berbuat kerusakan”.
Dengan mengambil tawaran makna ini, bisa kita ajukan pertanyaan: Apakah sekian banyak manusia di indonesia, misalnya, sedang berbuat kerusakan, sehingga perlu “diperbaiki” dengan ajakan hijrah ?
Atau bukankah justru pelaku tabdi (membid'ahkan amaliah bukan golonganya), takfiri itu sedang melakukan kerusakan ?
Pertanyaan yang mestinya tidak terlalu sulit dijawab. Alternatif pemaknaan yang kedua adalah dari riwayat Amr bin ‘Ash, "Ketika Rasulullah ditanya perihal orang asing yang beruntung tersebut, Rasulullah menjawab :
"Mereka (orang asing) adalah orang² salih di tengah² mayoritas masyarakat yang buruk. Yang membangkang orang² shalih, lebih banyak dari yang menaatinya”.
Dalam kerangka ini, maka perlu dibuat kategori asing:
- Asing dalam kebenaran di tengah masyarakat yang batil.
Tidak ada keterasingan bagi orang yang mulia akhlaknya, dan tidak ada tempat yang terhormat bagi orang-orang yang bodoh". Artinya seseorang yang bersifat memiliki ilmu dan amal maka sesungguhnya ia akan dihormati diantara manusia di mana saja berada. Oleh karena itu di mana saja berada layaknya mereka seperti di negeri sendiri dan dihormati. Sebaliknya orang yang bodoh adalah kebalikannya meskipun di negeri sendiri mereka merasa asing.( Nashoihul Ibad)
- Asing dalam kebatilan di tengah masyarakat yang benar. Jadi, tidak serta merta keterasingan dimaknai sebagai sesuatu yang Islami. Salah besar jika ada anggapan “semakin asing seseorang, semakin ia dekat dengan Islam”. Bukan begitu!
Yang juga menarik adalah jika memaknai “orang asing” sebagaimana riwayat Imam Baihaqi yang mengisahkan dialog antara Umar bin Khattab dan Mu’adz bin Jabal.
"Mu’adz menceritakan pada Umar satu hadits dari Rasulullah yang berbunyi:
“Allah mencintai orang² yang tersembunyi, takwa, dan suci. Ketika mereka tidak ada, masyarakat tidak merasa kehilangan; ketika mereka ada, masyarakat tidak menyadari. (Namun demikian) Hati mereka (seperti) lampu² hidayah, mereka keluar (menjauh) dari fitnah”.
Gambaran di atas sangat identik dengan laku para sufi. Low profile (tidak menonjolkan diri), hidup damai, dan tentram. Jauh dari hingar-bingar kehidupan duniawi.
Ketika kita melihat bagaimana para ahli tasawwuf didalam kehidupan mereka, tentu kita akan berfikiran bahwa mereka adalah orang² yang baik, juga menebarkan kebaikan, karena kedekatan mereka kepada Allah, dan itulah yang menjadi ukuran utama orang dinilai baik atau buruk dalam pandangan Allah.
إن الله لا ينظر الى صوركم ولا الى اجسامكم ولكن ينظر الى قلوبكم واعمالكم
"Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada bentuk kalian dan juga tidak pada badan kalian, akan tetapi melihat kepada Hati-hati Kalian dan amal perbuatan kalian."
Dan Akhlaknya seorang pengikut ajaran tasawwuf adalah Akhlak yang sama yang diperintahkan Rasulullah bahkan akhlak yang sama digunakan Rasulullah, sebagaimana disebutkan oleh para Ulama bahwa Akhlak mereka salah satunya tawadhu’ (rendah hati). Yang merupakan sifat Rasulullah dan Beliau telah mengatakan
إن الله تعالى اوحي الي أن تواضعوا ،ولا يبغي بعضكم على بعض
Sungguh Allah telah mewahyukan kepadaku, agar memerintahkan kalian untuk rendah hati, dan tidak berbuat dholim satu dengan yang lainya.
(Hr Muslim, Bukhari Abu Dawud)
Dan dari bentuk sifat rendah hatinya Rasulullah Beliau mendatangi undangan setiap orang, seorang yang merdeka ataupun Budak hamba sahaya, dan Beliau menerima hadiah walaupun hanya seteguk air susu, dan Beliau tidak pernah menolak undangan dari seorang budak perempuan ataupun orang² miskin . Dan sifat ini pasti dimiliki oleh setiap orang yang menempuh jalan ilmu tashowwuf (seorang Sufi) karena setiap sifat dan gerakan mereka selalu hanya mencontoh dengan Rasulullah.
Kembali ke tema pembahasan...
Apa pun yang digunakan untuk memaknai “orang asing”, tidak ada satupun yang bisa menjadi pembenar untuk pelaku tabdi' dan takfir apalagi aksi terorisme. Hadits tersebut juga sama sekali tidak berisi perintah untuk "mengasingkan diri"/untuk jauh dari kerumunan. Di banyak kesempatan justru sebaliknya, kita diminta untuk ambil peran dalam kehidupan masyarakat. Umat Islam diminta menjadi ummatan-wasathan. Secara literal berarti umat yang berada di tengah. Namun, secara kontekstual adalah umat yang senantiasa mengambil peran.
Dalam sebuah hadits dari sahabat Anas bin Malik , Rasulullah bersabda:
"إِن أمتي لن تجتمع على ضلالة، فإذا رأيتم الاختلاف فعليكم بالسواد الأعظم"
Sesungguhnya umatku tidak akan berkumpul pada kesesatan. Oleh karena itu, apabila kamu melihat terjadinya perselisihan, maka ikutilah golongan mayoritas.
(Hr Ibnu Majah).
Berdasarkan pesan hadist, bahwa apabila umat Islam melakukan kesepakatan, maka kesepakatan tersebut dijamin dan dipastikan benar. Sehingga kesepakatan tersebut sifatnya mengikat dan wajib diikuti oleh seluruh umat Islam. Akan tetapi, apabila banyak terjadi perbedaan pendapat, maka umat Islam wajib mengikuti golongan mayoritas. Ketika para ulama berbeda pendapat, maka mengikuti mayoritas ulama. Dan ketika umat Islam berbeda pendapat, maka mengikuti mayoritas umat Islam. Hadits tersebut juga mengisyaratkan, bahwa ketika terjadi perbedaan pendapat dalam masalah fiqhiyah atau furu’iyah, maka dianjurkan mengikuti mazhab jumhur atau mayoritas ulama. Tetapi ketika terjadi perbedaan dalam persoalan akidah atau ushuliyah, seperti perbedaan antara Ahlussunnah Wal-Jamaah, Khawarij, Wahbiyah (rustumiyah), Mu’tazilah, Bahaiyah, Syiah, Karamiyah, Qadariyah, Ahmadiyah, Jabarriyah, Wahabiyah (salafi hijaz, salafi yamani, manhsj salaf, salafi ikhwani, salafi turots, salafi harakiyah, salafi lokal dll..), maka umat Islam wajib mengikuti golongan mayoritas, yaitu Ahlussunnah Waljamaah.
إن أهل الكتابين افترقوا فى دينهم على ثنتين وسبعين ملة وإن هذه الأمة ستفترق على ثلاث وسبعين ملة وكلها فى النار إلا واحدة وهى الجماعة
“Dua golongan Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) telah terpecah dalam agama mereka menjadi 72 (aliran), dan sungguh umat ini akan terpecah menjadi 73 aliran, semuanya masuk neraka kecuali satu, yaitu (yang berpegang teguh pada) jama’ah.”
(Hr Ahmad, Thabrani, Hakim).
Maksud dari 72 golongan atau sekte yg disebutkan dalam hadis ini adalah sekte atau aliran yg muncul karena faktor perbedaan pokok² aqidah dan keimanan yang menyelisihi Ahli Sunnah wal Jama’ah, seperti yang disebutkan diatas. (Fathul Bari)
والله اعلم
Baca Topik Penting:
Comments
Post a Comment