Kemerdekaan Bangsa Bukan Kemerdekaan Negara


07 Agustus 2020 pukul 13.00 selepas jum'atan sekelompok pemuda dan pemudi desa lereng pegunungan slamet mengadakan kegiatan pemasangan bendera, umbul², lampion dan sepanduk, untuk memeriahkan hari ulang tahun kemerdekaan. mereka menghias jalan² kampung. Sehingga suasana kampung tampak terlihat indah dan meriah. 
Ketika perjalanan pemasangan bendera dan lainya, kebetulan mereka melewati pondok Kiyai Syauqi, dan mereka melihat sepanduk besar dan panjang yang di pasang diatas teras pondok.
Penasaran dengan logo “75 KEMERDEKAAN BANGSA INDONESIA” dengan satu bendera merah-putih dan tulisan DIRGAHAYU BANGSA INDONESIA serta HUT PROKLAMASI KEMERDEKAAN BANGSA INDONESIA KE-75 yang terpampang pada spanduk yang digantung di Pesantren Sufi, usai tasyakuran yang diikuti santri dan warga kampung. 

Kang Mukhlas, kang Satim, , yu Yatun, yu Fauziah, dan yu Fatimah, mereka sebagian dari pemuda dan pemudi kampung yang termasuk kritis dan bersemangat, memberanikan diri mendatangi Kiyai Syauqi. 
Mereka mempertanyakan ketidak-laziman icon serta tulisan pada spanduk di Pesantren Sufi yang jauh beda dengan spanduk-spanduk yang dipampang di berbagai instansi pemerintah, kantor-kantor, sekolah-sekolah, hotel-hotel, pusat perbelanjaan, tempat-tempat wisata, balai desa dan yang dipasang para pemuda di gerbang kampung. 
Kiyai Syauqi yang sedang duduk lesehan diruang tamu bersama santrinya sembari menikmati hidangan ketupat sayur bersama para santri sufi hanya tersenyum ditanya ini dan itu terkait spanduk yang dinilai “nyleneh” itu, dan mempersilahkan kesemua tamunya yang baru datang itu untuk ikut menyantap hidangan sisa Tasyakuran  yang kebetulan masih banyak dan diletakan ditengah karpet merah bermotif bunga tempat mereka duduk.

 Usai makan-makan, dengan suara datar Kiyai Syauqi bertanya,”Apa yang menurut kalian “nyleneh” dari spanduk itu?” sambil menunjuk spanduk yang tergantung di teras pesantren.
“Logo bertuliskan 75 KEMERDEKAAN BANGSA INDONESIA, Mbah Kyai,” kata kang Mukhlas  minta penjelasan,”Itu yang kami anggap “nyleneh”, Mbah Kyai.”
“Bagian mana yang “nyleneh” menurut kalian?” tanya Kiyai Syauqi memandang tajam kang Mukhlas.
“Kalimat KEMERDEKAAN BANGSA INDONESIA dengan satu bendera merah-putih, Mbah Kyai. 
Itu aneh dan nyleneh, karena setahu kami, semua spanduk menggunakan logo 75 KEMERDEKAAN REPUBLIK INDONESIA dengan empat bendera merah-putih. Kenapa di sini kata REPUBLIK diganti BANGSA? Bukankah itu aneh dan nyleneh, Mbah Kyai?”  kang Mukhlas menjelaskan
“Kalian ini termasuk anak-anak bangsa yang “dibodohkan” oleh elit penguasa yang secara sistematis dan sistemik berusaha memutar-balik sejarah dengan menyebar-luaskan dan menanamkan pemikiran dogmatik-indoktrinatif, yang menyihir jiwa dan pikiran anak-anak bangsa agar tidak berpikir kritis dengan melupakan sejarah bangsanya,” sahut Kiyai Syauqi dengan suara tinggi.

“Maaf Mbah Kyai, kami belum faham penjelasan panjenengan,” sahut kang Mukhlas.
“Kang Satim,” seru Kiyai Syauqi mendaulat, ”Tolong kau baca teks proklamasi yang dibaca Soekarno pada hari Jum’at, 17 Agustus 1945, jam 10.00 di jalan Pegangsaan, Jakarta. Kau hafal kan?”
“Siap!,” sahut Kang satim... Kemudian dia mengucapkan naskah proklamasi, "Kami Bangsa Indonesia. Dengan ini menyatakan Kemerdekaan Indonesia. Hal-hal mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain, diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Jakarta, 17 Agustus 1945. Atas nama Bangsa Indonesia. Soekarno-Hatta.”
“Cukup,” sahut Kiyai Syauqi,”Bagian mana dari naskah proklamasi 17 Agustus 1945 yang dibacakan Soekarno itu yang menyebutkan REPUBLIK INDONESIA? Apakah Soekarno-Hatta dalam naskah proklamasi itu menyatakan atas nama pemerintah REPUBLIK INDONESIA?”

Wah iya Mbah Kyai,” sergah kang Mukhlas, terlonjak, 
”Proklamasi kita itu adalah proklamasi KEMERDEKAAN BANGSA INDONESIA dan sekali-kali bukan proklamasi KEMERDEKAAN REPUBLIK INDONESIA.”
“Kenapa kau bisa berpikir seperti itu?” tanya Kiyai Syauqi.
“Pertama-tama,” jawab kang Mukhlas tegas, “Teks proklamasi memang menyebutkan bahwa kemerdekaan itu adalah KEMERDEKAAN BANGSA INDONESIA di mana Soekarno-Hatta mengatas-namakan dirinya sebagai wakil bangsa dan bukan wakil pemerintah REPUBLIK INDONESIA.
 Yang kedua, REPUBLIK INDONESIA pada hari Jum’at, 17 Agustus 1945 jam 10.00 itu belum lahir dan baru lahir sehari kemudian, yaitu pada hari Sabtu tanggal 18 Agustus 1945, sehari setelah PROKLAMASI KEMERDEKAAN BANGSA dikumandangkan Soekarno-Hatta. Yang ketiga, setahu saya REPUBLIK INDONESIA tidak pernah dijajah. 
Sedetik pun RI tidak pernah dijajah. Jadi kalau sebuah negara tidak pernah dijajah negara lain, di mana logika warasnya negara itu memproklamasikan kemerdekaannya? Memproklamasikan negara dari jajahan negara mana?”

Kiyai Syauqi bertepuk tangan diikuti kang Satim, yu Yatun, yu Fauziah, yu Siti, kang Mukhlas, kang Mislam,  yu Eti, dan para santri sufi. 

Beberapa saat kemudian Kiyai Syauqi berkata dengan nada tanya, "Jadi setiap peringatan PROKLAMASI KEMERDEKAAN BANGSA INDONESIA, yang sepatutnya berhak mendapat ucapan selamat yang menggunakan bahasa Sansekerta "DIRGHAHAYU itu BANGSA INDONESIA" atau REPUBLIK INDONESIA?”
Kang Mukhlas, kang Satim, kang Mislam, yu Yatun, yu Fauziah, dan yu Siti serta yang hadir serentak berseru, ”BANGSA INDONESIA, Mbah Kyai. BANGSA INDONESIA yang berhak memperoleh ucapan selamat panjang umur – DIRGAHAYU!”
“Maaf Mbah Kyai,” sahut yu Yatun tiba-tiba, "Kenapa orang-orang berusaha memanipulasi fakta sejarah tentang Proklamasi Bangsa kita?”
“Patuh dan tunduk kepada Negara-negara Kapitalis untuk menjalankan agenda globalisasi.” Jelas Kiyai Syauqi dengan suara datar
“Agenda globalisasi?” sergah yu Fauziah kaget, "Apa hubungannya Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia dengan agenda globalisasi?”
“Kalian sudah mafhum kan, bahwa dalam agenda globalisasi itu semua batas definitif  Bangsa (Nation), Kebangsaan (Nationality), Negara Bangsa (Nation State), Ideologi Kebangsaan (Nationalism) yang ditandai identitas bahasa, etnik, budaya, agama, dan wilayah teritorial negara sudah tidak ada lagi. Artinya, dalam agenda globalisasi segala sesuatu yang berstatus bangsa dengan berbagai identitas lokalnya harus dihapus. Begitulah, identitas bangsa ditiadakan dalam konsep globalisasi yang menganut konsep A Global Open Society,” kata Kiyai Syauqi menjelaskan, "Sehingga segala sesuatu yang berhubungan dengan Bangsa, Kebangsaan, Negara Bangsa, dan Ideologi Kebangsaan dianggap kejahatan yang bisa mengganggu agenda globalisasi.”
“Maaf Mbah Kyai,” sahut yu Siti minta penjelasan, "Adakah beda yang esensial antara BANGSA dengan NEGARA? Maksud saya, apakah ada beda yang esensial antara BANGSA INDONESIA dengan NEGARA INDONESIA dalam konteks proklamasi?”
Kiyai Syauqi tidak menjawab, sebaliknya bertanya, ”Adakah beda antara KELUARGAMU dengan RUMAH KELUARGAMU di mana kamu dan keluargamu tinggal?”
“Ya tentu beda, Mbah Kyai,” sahut yu Siti ”Keluarga saya adalah kumpulan manusia yang masih sedarah, sedangkan rumah keluarga adalah obyek benda bikinan keluarga yang sewaktu-waktu bisa diubah bentuk dan bangunannya sesuai selera.”

“Seperti itulah beda BANGSA INDONESIA dengan NEGARA REPUBLIK INDONESIA.” Kiyai Syauqi menjelaskan
Yu Siti manggut-manggut memahami penjelasan Kiyai Syauqi. 
Sebentar kemudian ia berkata dengan nada tanya,”Berarti semua agenda sistematis dan sistemik itu tujuannya tidak lain dan tidak bukan adalah untuk menimbulkan Amnesia Sejarah anak-anak bangsa, di mana anak-anak bangsa tidak lagi menyadari bahwa mereka adalah komunitas bangsa melainkan tinggal menjadi warganegara sebuah negara liberal. Ini pasti pekerjaan para komprador, avonturir-avonturir Neolibs berjiwa kacung, jongos, kuli, babu, centeng, dan begundal asing yang rela melakukan apa saja untuk menyenangkan majikannya.”
“Kenapa kau bisa berpikiran seperti itu? Kenapa kau mencurigai para avonturir Neolibs?” tanya Kiyai Syauqi menguji.

“Karena dalam sistem liberal, keberadaan negara hanya menjadi “penjaga malam” yang tidak diperkenankan ikut campur dalam persaingan warganegara memperebutkan sumber daya ekonomi dan kekuasaan politik. Azas yang dianut pun didasarkan pada konsep aristocracy of money, yang memposisikan warganegara hanya sebagai konsumen dari komoditas-komoditas yang diproduksi negara-negara industri maju. 
Itu sebabnya, kesadaran sebuah komunitas bangsa atas jati dirinya sebagai bangsa dengan semua identitas lokalnya, dianggap ancaman bagi agenda para kapitalis pemilik modal untuk menjadikan warganegara di berbagai negara sebagai konsumen. Kapitalisme global sadar, komunitas akan menolak semua usaha eksploitasi atas bangsanya,” papar yu Yatun menyimpulkan sambil cengar cengir.
 ”monggo kopine diunjuk”Kiyai Syauqi mempersilahkan mereka untuk meminum kopi yang dari tadi tak ada yang menyentuhnya. 
Tanpa aba aba bersamaan mereka yang hadir mengambil cangkir dan menyruput kopi. 

Sesaat kemudian hening.....
“Nah kalau kalian sudah sadar, apa yang akan kalian lakukan menghadapi agenda globalisasi golongan Neolibs ini?” tanya Kiyai Syauqi memancing dan memecahakan keheningan.
“Ya melawan dengan sekuat daya, Mbah Kyai, agar anak-anak bangsa tidak terhegemoni jiwa dan pikirannya dengan manut dan patuh saja menerima pandangan-pandangan, gagasan-gagasan, ide-ide, konsep-konsep, dan nilai-nilai palsu yang secara sistematis dan sistemik disebar-luaskan dan ditanamkan oleh para avonturir Neolibs,” jawab yu Fauziah tegas. Yang lainya manggut manggut “nggih nggih”
“Dengan cara apa kalian melawan agenda mereka?” tanya Kiyai Syauqi mengejar.
Kang Mukhlas tercekat kaget tidak bisa menjawab. Sebentar kemudian ia menuding ke arah spanduk sambil berkata, "Menyadarkan anak-anak bangsa, pertama-tama dengan membuat spanduk-spanduk kritis dan kreatif seperti itu, dengan membuat pamflet-pamflet, brosur-brosur, facebook, blog, dan website yang komunikatif.” 
“Apakah engkau yakin usahamu di tengah hedonisme dan narsisme anak-anak bangsa sekarang ini akan berhasil?” tanya Kiyai Syauqi menguji.
Kang Mukhlas diam. Ia tidak tahu akan menjawab apa dengan mengetahui fakta terkait kesadaran nasionalisme anak-anak bangsa sebayanya yang sangat menyedihkan. Akhirnya, sekenanya ia menjawab, “Insya Allah, Mbah Kyai.”
“Wallahu ’alam bishowab,” sahut para santri sufi serentak.

Comments

Popular posts from this blog

Wali Malamatiyyah

Bait Syair Yang Terukir Di Gembok Makam Rasulullah SAW

Pemimpin Cerminan dari Rakyatnya