Saya Ikut Ulama
Baca juba: •Jangan Panggil Saya Ustadz
• Cap Kenabian Khatamun Nubuwah
Ulama dapat menjadi seorang mujtahid (punya kapasitas memahami hukum dari teks al Qur’an maupun Hadits secara langsung) harus memenuhi kriteria" Handal dibidang satu persatu (mufradat) lafazh bahasa Arab, mampu membedakan kata musytarak (sekutuan) dari yang tidak, mengetahui detail huruf jer (kalimah huruf dalam disiplin ilmu Nahwu), mengetahui ma’na-ma’na huruf istifham (kata tanya) dan huruf syarat, handal di bidang isi kandungan al Qur’an, asbab nuzul (latar belakang di turunkannya ayat), nasikh mansukh (hukum atau lafazh al-Qur’an yang dirubah atau di ganti), muhkam dan mutasyabih, umum dan khusus, muthlak dan muqayyad (yang dijelaskan) , fahwa al Khithab, khithab at-Taklif dan mafhum muwafaqah serta mafhum mukhalafah. Serta juga handal di bidang hadits Rasulallah baik di bidang dirayah (mushthalah hadits atau kritik perawi hadits) dan riwayat, tanggap fikir terhadap bentuk mashlahah umum dan lain-lain. Jika kriteria-kriteria di atas tidak terpenuhi, maka kewajibannya adalah bertaqlid mengikuti mujtahid".
Ulama dapat menjadi seorang mujtahid (punya kapasitas memahami hukum dari teks al Qur’an maupun Hadits secara langsung) harus memenuhi kriteria" Handal dibidang satu persatu (mufradat) lafazh bahasa Arab, mampu membedakan kata musytarak (sekutuan) dari yang tidak, mengetahui detail huruf jer (kalimah huruf dalam disiplin ilmu Nahwu), mengetahui ma’na-ma’na huruf istifham (kata tanya) dan huruf syarat, handal di bidang isi kandungan al Qur’an, asbab nuzul (latar belakang di turunkannya ayat), nasikh mansukh (hukum atau lafazh al-Qur’an yang dirubah atau di ganti), muhkam dan mutasyabih, umum dan khusus, muthlak dan muqayyad (yang dijelaskan) , fahwa al Khithab, khithab at-Taklif dan mafhum muwafaqah serta mafhum mukhalafah. Serta juga handal di bidang hadits Rasulallah baik di bidang dirayah (mushthalah hadits atau kritik perawi hadits) dan riwayat, tanggap fikir terhadap bentuk mashlahah umum dan lain-lain. Jika kriteria-kriteria di atas tidak terpenuhi, maka kewajibannya adalah bertaqlid mengikuti mujtahid".
Makin masifnya jamaat sekte wahabiyyun mengaburkan makna dari slogan "Kembali kepada al Qur'an & as Sunnah", yg berakibat banyak orang² yg baru belajar agama yang mestinya dari bab dasar bagaimana tentang اقر langsung digiring pada pemelintiran yang justru makin menjauhkan umat dengan ulama. "Jangan taklid dengan kyai, Habib, ustadz". Mereka gembar gemborkan kalimat itu, apa mereka pikir mereka bisa faham isi kandungan al Qur'an dan as Sunnah dari bgitu lahir ke bumi tanpa belajar dari para masayikh (guru yg ahli agama)?
Baginda Rasulullah bersabda: “Ittaqut tafsira, fa innama huwar-riwayah ‘anillah”.
“Berhati-hatilah menafsirkan al Qur'an, karena ia adalah riwayah dari Allah.
Masyarakat (orang² awam) tidak semuanya bergelar sarjana syariah, serta bisa berijtihad sendiri. Tanpa bimbingan ulama, maka “Kembali ke al Quran dan as Sunnah” itu jadi sesuatu yang membahayakan. Jika tidak tahu ilmunya.
Yang benar adalah "Kembali ke Ulama”. Karena sejatinya kembali kepada" ulama" itu juga kembali kepada al Quran dan sunnah yang sesungguhnya. Kenapa bisa begitu?.
Sejak 14 abad yg lalu para ulama (imam madzhab, imam hadist, ulama tarjih dan pen-syarh kitab²) "bersusah payah mengerahkan pemikiran dan tenaga" dalam menulis kitab² Tafsir Quran dan juga kitab² syarah (penjelasan) Hadits.
Memahami kitab dengan teks arab beda hasilnya dengan memahami ilmu agama lewat buku terjemah. Karena memahami ilmu agama dengan teks arab dapat mengetahui kandungan dan faidah makna yang begitu luas sesuai dengan rentetan siyaqul kalam- Nya (makna yang terkadung). Sehingga dapat menghasilkan tasfir yang bervariasi. Sedang memahami nya degan buku terjemah, pemahaman seseorang akan mentok sebatas apa yang tercantum di dalam buku itu saja.
Para ulama memang mengharuskan bagi orang yang tak bisa menggali hukum dari sumbernya sendiri untuk bertanya kepada ulama. Entah apapun namanya itu; baik disebut taklid, meminta fatwa atau ittiba’ (mengikuti).
Hanya saja memang masalahnya, banyak orang yang tak mau disebut masih awam. Karena dianggapnya awam artinya bodoh. Tentu tak ada yang mau disebut bodoh.
Padahal para ulama menjelaskan bahwa disebut orang awam dalam agama adalah "orang yang tak memiliki perangkat untuk berijtihad", menggali hukum sendiri dari dalil² agama. "Atau bahasa lainnyya adalah mustafti (orang² yang tidak mempunyai suatu pengetahuan tentang hukum syara'baik secara sebagian maupun keseluruhan)".
Rasulullah bersabda :
آفة العلم النسيان وإضاعته أن تحدث به غير أهله
Bencana Ilmu adalah lupa,dan rusak nya ilmu ketika engkau membahas/membicarakannya dengan orang yang bukan ahli nya."
(Hr متفق عليه / Bukhari, Muslim).
Ilmu menjadi sia-sia, rusak, dan binasa ketika engkau membahas ilmu dengan orang yang bukan ahlinya. Ia tidak memahami dan tidak pula mengamalkannya. Membicarakan ilmu dengan lnya termasuk kesia-siaan, kerusakan, dan kehancuran karena ia todak mengetahui apa yang kamu ucapkan. Ilmu Itu tidak akan bermanfaat baginya. Begitu pula tatkala engkau membahasnya dengan orang yang senang mempermainkan ilmu, lalai dan mengolok ngolok nya.
Semboyan “Cukuplah bagiku al Quran dan Hadits” tidak bisa dipakai sembarangan hanya untuk mendekonstruksi (baca-melemahkan) pendapat ulama. Sedang ia sendiri tidak mengetahui lewat jalur mana ia memahami maksud dan makna ayat serta hadist tersebut. Dan tak mungkin pula ia bisa mengambil kesimpulan hukum dari ayat dan hadits tanpa merujuk kepada pendapat ulama yang dalam kapasitas Mutjahid. Imam Ghazali (w. 505 H) meyebut :
العامي يجب عليه الاسْتفتاء واتباع العلماء
"Orang (awam) yg kewajibannya adalah meminta fatwa dan mengikuti ulama".
Pada kenyataannya kebanyakan pengikut sekte wahabi (para ingkar madzhab) merujuk ke pendapat Ibnu Taimiyyah, ibnu Qoyyim, Ibn Abdul Wahhab, Bin Baz, Albani, Utsaimin, dkk-nya...
Bukan merujuk langsung ke pendapat ulama Salaf asli.
Ibnu Taimiyyah dan muridnya Ibnu Qoyim adalah ulama kholaf (pertengahan), bahkan sebagian ahli sejarah menyebut mutakhirin.
Muhammad ibn Abdul Wahhab sendiri bukanlah ulama Salaf. Ia termasuk tokoh baru (sekitar abad 18, jeda 14 abad dari era Rasulullah ). Mereka para wahabiyun, menjadikan tokoh ini sebagai model gerakan dakwah dan menjadikan hanya dia saja sebagai patokan /parameter sebagai orang yang mengikuti Salafus Shaleh, itu kesalahan fatal dalam berislam.
Selama rentang waktu 14 abad sebelum abdul wahab lahir, itu generasi salaf yang ribuan punya murid yang tersebar di seluruh dunia Mesir, Maroko, Sudan, Irak, Balkan, bahkan sampai dengan Indonesia., Gerombolan manhaj salafi wahabi "'ngaku' salafi mengklaim hanya cara dakwah abdul wahab ini yang benar sedang selainnya menurut mereka kita ini Hizbi (fanatik sempit terhadap kelompoknya)??
Seandainya ia punya sanad ??? tak mungkin 'dia' (abdul wahab) satu-satunya yang punya sanad nyambung ke Rasululah.
Ulama semasanya di dunia juga tersebar. Mereka semua tidak serta-merta mati ketika abdul wahab lahir, tumbuh, mengaji dan mendakwahkan gerakan bid'ah tri tauhidnya (hasil buah pikir Ibnu Taimiyah bid'ah dalam akidah).
Definis Salafi itu tidak hanya merujuk kepada salah satu madzhab saja, melainkan mencakup kepada seluruh kelompok yang mengikuti para sahabat dan yang dua selanjutnya.
Rasulullah bersabda:
“خير الناس قرني ثم الذين يلونهم ثم الذين يلونهم “
Sebaik-baik manusia adalah pada kurunku (Sahabat), kemudian yang sesudahnya (Tabi’in), kemudian yang sesudahnya (Tabi’ut Tabi’in)".
Prof. Dr. Said Ramadhan Buthi (ulama Mesir) memprotest keras hal tersebut dalamnya kitab "As Salafiyyah Marhalah Zamaniyyah Mubarokah La Madzhab Islami”. Beliau menyebutkan bahwa istilah salaf sebenarnya merujuk kepada suatu fase sejarah, dan bukan kepada madzhab tertentu dalam Islam.
Kalau mereka merujuk Salaf yang ribuan, "Tidaklah mereka merujuk satu ulama salaf kecuali mereka meningglkan pendapat ulama yg lain".
"ASWAJA tidak akan ikut slogan " Kembali kepada al Qur'an & Hadist". Karena tidak pernah meninggalkan al Qur'an & as Sunnah dengan ittiba kepada Ulama"
Samoga bermanfaat
والله اعلم
Baca topik ini juga:
Comments
Post a Comment