Celana Cingkrang Dan Kesombongan
Topik penting:
Ta'abbudi( penghambaan diri/tunduk patuh pada ketentuan nash) adalah aspek yang berada di luar ranah akal sebab penentunya hanyalah nash (teks Alqur'an atau hadits). Contoh : Najis adalah ranah ta'abbudi. Ketika nash sudah menetapkan sesuatu sebagai najis, maka secara fikih diputuskan sebagai najis dan tak bisa dinegosiasi dengan akal. Misalnya: hewan yang mati tanpa sembelihan syar'i menurut nash adalah najis. Status ini sudah final tak bisa ditawar dengan akal lagi. Entah hewan tersebut masih segar sehingga menurut akal tak ada bedanya dengan yang disembelih atau sudah busuk sehingga berpenyakit.
Babi menurut nash adalah najis. Status ini juga sudah final. Alasan² bahwa babi mengandung penyakit, cacing pita, perilakunya kotor dan sebagainya tak berpengaruh apapun pada hukum najisnya babi. Meskipun alasan² itu terbukti tidak ada, maka hukumnya tetap najis secara fiqh.
Karena status hukum ta'abbudi tergantung "pada ada tidaknya nash" , maka hal² yang tergolong ta'abbudi terbatas pada yang ada nash-nya saja.
Jumlah ta'abbudi ini juga takkan bertambah hingga kapan pun sebab penentuannya bukan ranah ijtihad.
Adapun ta'aqquli (aktifitas berfikir) adalah sesuatu yang bisa dinalar, sebab itu penentuannya adalah nalar itu sendiri, hal² umum yang bisa dinalar, seperti mafsadah (kerusakan), kezaliman, keadilan dan seterusnya.
Semisal suatu hal nyata menimbulkan mafsadah(kerusakan), maka hal tersebut terlarang kecuali dalam kondisi tertentu yang meringankannya. Namun bila unsur mafsadah ini tidak terbukti ada, maka sesuatu itu tidak terlarang. Demikianlah kaidah yang berlaku dalam hal² yang ta'aqquli, selalu ada penentu hukum (illat) yang menentukan ada tidaknya sebuah putusan hukum.
Sekarang, kita beralih pada kasus kesombongan. Apakah kesombongan ini "ta'abbudi ataukah ta'aqquli"?. Pembahasan ini akan berpengaruh pada cara kita memahami hukum seperti masalah"ISBAL".
Bagi segelintir orang berdasarkan beberapa nash umum tentang isbal, bila sarung, gamis atau celana seorang lelaki menjulur di bawah mata kaki, maka berarti dia dianggap sombong. Tak peduli isi hatinya apa, yang penting tatkala dia isbal maka langsung dianggap sombong. Nalar seperti ini menunjukkan bahwa kesombongan dianggap sebagai ranah ta'abbudi yang tak bisa dijangkau akal tetapi diputuskan murni oleh nash.
Bagi mayoritas orang tidak demikian, memakai sarung atau celana apabila kain sampai melebihi mata kaki harus dilihat dulu motivasinya. Bila motivasinya adalah pamer pakaian atau pamer status sosial yang menunjukkan dia adalah kelas atas, bukan kelas pekerja kasar yang lumrahnya mengangkat celanya di atas mata kaki agar tidak ribet sewaktu bekerja, maka hukumnya adalah haram. Niat pamer itulah yang menjadi wujud kesombongan. Sedangkan bila dalam hatinya tak ada motif kesombongan seperti itu, namun semata karena kebiasan yang berlaku umum, maka isbalnya tidak mengapa dilakukan.
Bila kita mau melihat secara "objektif", kelompok kedua yang benar dalam hal ini. Kesombongan adalah ma'qulul ma'na (sesuatu yang dapat dinalar). Tanpa ada nash sekalipun, seseorang bisa mengidentifikasi ada tidaknya unsur kesombongan dalam suatu tindakan. Unsur² itu seperti merasa dirinya unggul dan hebat, merasa orang lain lebih rendah, menolak hal yang sudah nyata benar dengan angkuh, dan sebagainya. Ini semua dapat dinalar dan diketahui ada tidaknya berdasarkan indikasi² yang sifatnya empiris. Karena itu, penentuan kesombongan sama sekali tak memerlukan nash ayat atau hadits.
Misal, Apakah fulan yang memakai arloji yang seharga ratusan juta rupiah dianggap sombong?. Untuk menjawabnya tak perlu mencari hadits tentang arloji mahal, tapi cukup dengan melihat indikasinya.
Bila kita anggap kesombongan sebagai hal ta'abbudi yang bergantung sepenuhnya pada nash, maka kita takkan bisa menentukan suatu tindakan sebagai sombong atau tidak tanpa adanya nash. Dalam kasus arloji mahal itu, harus ada nash yang menyatakan bahwa itu masuk kategori sombong atau tidak. Dengan demikian, butuh jutaan nash untuk menghukumi jutaan perbuatan. Tetapi faktanya tidak demikian, hanya sedikit nash yang berbicara tentang kesombongan dan dari itu sudah cukup sebagai pedoman untuk menilai seluruh hal dengan cara qiyas (menganalogikan hukum).
Berlakunya qiyas dalam hal kesombongan adalah bukti tak terbantahkan bahwa tolak ukur kesombongan adalah ranah ta'aqquli. Bila ia adalah ta'abbudi, tentu saja tak bisa berlaku qiyas.
Dengan demikian, asumsi sebagian kelompok bahwa kesombongan dapat diputuskan keberadaannya semata karena nash belaka adalah asumsi yang salah. Dalam kasus isbal, ada tidaknya kesombongan hanya bisa diukur dengan ukuran yang dapat dinalar, seperti adanya indikasi pamer, angkuh dan sebagainya.
Salah apabila semua isbal langsung mendapat vonis "sombong" tanpa bisa ditawar lagi dengan alasan ada beberapa nash yang menyatakan bahwa isbal adalah sombong. Ini jelas merupakan pembacaan nash yang tidak tepat. Yang benar, isbal banyak terjadi karena motif sombong sehingga layak dilarang. Adapun bila tanpa motif sombong maka tak mengapa. karena itulah, Nabi sendiri pernah isbal, demikian juga Abu Bakar, Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas dan banyak sahabat lainnya yang tak terdata.
Di kalangan Tabi'in, Imam Abu Hanifah dan beberapa tokoh besar lain juga isbal. Sebab itulah, jangan heran bila para Ulama Syafi'iyah dan beberapa selain Syafi'iyah tidak memutlakkan hukum isbal tetapi memerincinya sesuai ada tidaknya indikasi dan motif kesombongan.
Dari Abu Hurairah ra : "Orang yang memakai sarung (kain) di bawah mata kaki, akan berada di dalam api neraka. (Hr Nasa’i).
“Sesungguhnya Rasulullah bersabda : Ketika seorang lelaki menyeret kainnya karena rendah (menutupi mata kaki), maka dia berbuat sombong di muka bumi hingga hari kiamat”. (Hr Bukhari).
Dalam dua riwayat di atas menyampaikan secara umum terkait isbal, bahwa siapapun lelaki yang berpakian panjang melebihi mata kaki maka nerakalah tempatnya. Hadits di atas tidak menjelaskan secara rinci terkait apa alasan dan motif larangan berpakaian isbal. Maka, bila dua hadits di atas dipahami secara "lahiriyah" pemahaman yang muncul adalah seseorang yang memakai sarung atau celana yang panjangnya melebihi mata kaki, dia akan dimasukkan ke dalam neraka sebagai hukuman atas perbuatannya.
Namun bila kita mengakaji dengan membaca dan mengumpulkan semua hadits yang berkenaan dengan hal tersebut, maka kita akan mengetahui apa yang ditarjihkan oleh Imam an Nawawi, Ibn Hajar, bahwa yang dimaksud dalam hadits di atas adalah sikap sombong yang menjadi motivasi seseorang dalam menjulurkan sarungnya. Itulah yang diancam dengan hukuman yang keras.
An Nawawi memasukkan hadis² tentang isbal pada bab Tahrim alKibar wa al I’jab (“keharaman bersikap sombong dan membanggakan diri), dan tidak meletakkan hadis tersebut pada bab "haram berpakaian isbal”.
Untuk memahami lebih lanjut tantang keharaman isbal karena termotivasi oleh sikap sombong, mari kita perhatikan beberapa riwayat hadits yang kedua berikut ini. Imam Bukhari meriwayatkan hadits pada bab “Barangsiapa menyeret sarungnya bukan karena sombong”.
“Rasulullah bersabda: Barangsiapa menjulurkan sarungnya sampai menyentuh atau hampir menyentuh tanah karena kesombongan, maka Allah tidak akan memandangnya pada hari kiamat, Abu Bakar berkata : "Ya Rasulullah, salah satu sisi sarungku selalu terjulur ke bawah, kecuali bila aku sering membetulkan letaknya.
Rasulullah berkata : "Engkau tidak termasuk orang² yang melakukannya karena kesombongan”.
Dalam hadits yang lain pada bab yang sama diceritakan bahwa Abu Bakar berkata :
"Ketika terjadi gerhana matahari dan kami sedang berada bersama Nabi, "beliau" (Rasulullah) berdiri lalu berjalan menuju masjid sambil menyeret sarungnya karena tergesa-gesa..".
Imam Muslim juga meriwayatkan hadits tentang isbal yang dilarang karena termotivasi oleh kesombongan.
“Ibn Umar berkata : Aku mendengar Rasulullah bersabda: "Barangsiapa yang menjulurkan sarungnya tidak ada suatu tujuan kecuali untuk kesombongan, maka Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat”.
Keterangan tambahan pada beberapa hadits di atas disampaikan dengan "redaksi" yang berbeda namun memiliki makna yang sama. Menurut ulama yang membolehkan meriwayatkan hadits dengan makna, secara jelas dalam hadits ini Rasulullah menekankan soal “takabbur (membanggakan diri)” sebagai satu-satunya alasan mengapa dilarang memakai baju panjang, sarung, atau celana hingga di bawah mata kaki atau isbal.
Melihat riwayat² Hadits tentang isbal di atas ternyata dalam sebagian riwayat ia bersifat muthlaq (tanpa keterangan) seperti riwayat yang pertama. Sementara dalam beberapa riwayat yang lain bersifat muqayyad (diberi keterangan) seperti riwayat yang kedua di atas. Maka "apabila" dua dalil yang satu tanpa keterangan dan satunya lagi diberi keterangan, maka kita mengambil yang muqayyad (yang diberi keterangan). Hal itu sebagaimana dijelaskan oleh ulama ushul fiqh bahwa :
اذا ورد دليلان في موضع واحد. الأول منهما مطلقا والثاني مقيد. فلا بد من حمل المطلق على المقيد
"Jika terdapat dua dalil yang muncul secara bersamaan dalam satu bahasan satu di antaranya berbentuk mutlaq (umum) dan yang lain berbentuk muqayyad (disertai penjelasan), maka hukum yang terdapat pada ayat yang muqayyad harus diberlakukan pada ayat yang mutlaq (humila al-Mutlaq ‘ala al-Muqayyad), karena ayat yang muqayyad dinilai lebih detail dan mempunyai dalalah (petunjuk) terhadap hukum yang lebih dari pada ayat yang bersifat mutlaq.
Wallahu a'lam
Semoga bermanfaat
Lanjut... kunjung balik pak.hwhw
ReplyDeleteOk siap Gus
Delete