Talfiq Dalam Ibadah
Topik Penting :
• Allah Diantara Kepentingan
• Pahala Terus Mengalir Setelah Kematian
Rasulullah wafat meninggalkan warisan berupa manuskrip al Quran juga yang berada di dalam hafalan para sahabat. Baru pada abad ke-3 H dibukukanlah hadits yang sebelumnya hanya berada pada ingatan, dengan begitu, sumber hukum Islam dapat digali dengan mudah.
Pada masa tabiin dan tabiit tabiin, muncul banyak mujtahid yang menguasai al Quran maupun hadits, selain juga ilmu² penunjang ijtihad. Mereka tidak terhitung jumlahnya, namun hanya beberapa yang diakui, yaitu Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i, dan Imam Hanbali. Sedangkan para awam yang tidak mampu melakukan ijtihad disebut dengan muqallid (orang yang taklid). Karena tidak bisa berijtihad sendiri, mereka mengikuti pendapat mujtahid yang sudah ada.
Perbedaan keempat madzhab tersebut terasa mendasar, karena memiliki prinsip hukum yang berbeda-beda. Akibatnya, pendapat mereka tentang suatu masalah juga berbeda-beda. Dari hukum suatu ibadah, sampai syarat, rukun, dan kaifiyah (tatacara)-nya. Sementara muqallid dalam satu kondisi tidak bisa mengikuti madzhab secara utuh dan harus melakukan talfiq.
Talfiq secara syar’i adalah mencampur-adukkan pendapat seorang ulama dengan pendapat ulama lain, sehingga tidak seorang pun dari mereka yang membenarkan perbuatan yang dilakukan. Muhammad Amin al Kurdi menyebutkan:
“Adalah tidak talfiq, yaitu tidak mencampur antara dua pendapat dalam satu qadliyah (masalah), baik sejak awal, pertengahan dan seterusnya, yang nantinya, dari dua pendapat itu akan menimbulkan satu amaliyah yang tidak pernah dikatakan oleh orang berpendapat.”
(Tanwir al Qulub).
Lazimnya, talfiq dalam ushul fiqh digunakan sebagai istilah:
الإتيان في مسألةٍ واحدة بكيفيةٍ لا توافق قول أحد من المجتهدين السابقين
“Menjalankan suatu masalah dengan cara yang tidak sesuai dengan satu pun mujtahid terdahulu.”
Dengan begitu, talfiq adalah menggabungkan dua/lebih pendapat madzhab berbeda dalam satu ibadah.
Jelasnya, talfiq adalah melakukan suatu perbuatan atas dasar hukum yang merupakan gabungan dua madzhab atau lebih. Contohnya :
- Orang yg membasuh beberapa helai rambut ketika wudlu, mengikuti madzhab Syafi’i, dan ketika menyentuh wanita ia tidak mengulangi wudlunya lagi, mengikuti madzhab Abu Hanifah. Kemudian ia shalat.
Shalat tersebut batal menurut Abu Hanifah, karena madzhabnya mengharuskan membasuh minimal seperempat kepala, selain itu juga batal menurut madzhab Syafi’i yang menganggap bahwa bersentuhan wanita membatalkan wudlu.
- Seseorang berwudlu dengan mengusap sebagian kepala, atau tidak menggosok anggota wudlu karena ikut madzhab imam Syafi’i. lalu dia menyentuh anjing, karena ikut madzhab Imam Malik yang mengatakan bahwa anjing adalah suci. Ketika dia shalat, maka kedua imam tersebut tentu sama-sama akan membatalkannya. Sebab, menurut Imam Malik wudlu itu harus dengan mengusap seluruh kepala dan juga dengan menggosok anggota wudlu. Wudlu ala Imam Syafi’i, menurut Imam Malik adalah tidak sah. Demikian juga anjing menurut Imam Syafi’i termasuk najis mughallazhah (najis yang berat). Maka ketika menyentuh anjing lalu shalat, shalatnya tidak sah. Sebab kedua imam itu tidak menganggap sah shalat yang dilakukan itu. Talfiq semacam itu dilarang agama, sebagaimana yang disebutkan dalam kitab I’anah al-Thalibin:
ويمتنع التلفيق في مسئلة كأن قلدمالكا في طهارة الكلب والشافعي في بعض الرأس في صلاة واحدة
“Talfiq dalam satu masalah itu dilarang, seperti ikut pada Imam Malik dalam sucinya anjing dan ikut Imam Syafi’I dalam bolehnya mengusap sebagian kepala untuk mengerjakan shalat.”
(I’anah al-Thalibin).
Sedangkan tujuan pelarangan itu adalah agar tidak terjadi tatabbu’ al rukhash (mencari yang mudah), tidak memanjakan umat Islam untuk mengambil yang ringan² saja. "Sehingga tidak akan timbul tala’ub (main-main) di dalam hukum agama".
Atas dasar ini maka sebenarnya talfiq yang dimunculkan bukan untuk mengekang kebebasan umat Islam untuk memilih madzhab. Bukan pula untuk melestarikan sikap pembelaan dan fanatisme terhadap madzhab tertentu. Sebab talfiq ini dimunculkan dalam "rangka menjaga" kebebasan bermadzhab agar tidak disalah pahami oleh sebagian orang.
Untuk menghindari adanya talfiq yang dilarang ini, maka diperlukan adanya suatu penetapan hukum dengan memilih salah satu madzhab dari madzahib al arba’ah yang relevan dengan kondisi dan situasi Indonesia.
Misalnya, dalam persoalan shalat (mulai dari syarat, rukun dan batalnya) ikut madzhab Syafi’i. untuk persoalan sosial kemasyarakatan mengikuti madzhab Hanafi. Sebab, diakui atau tidak bahwa kondisi Indonesia mempunyai ciri khas tersendiri. Tuntutan kemashlahatan yang ada berbeda dari satu tempat dengan tempat lain.
Terkadang, talfiq dipakai sebagai istilah yang lebih umum menurut sebagian ulama. Yakni, muqallid menggunakan suatu madzhab untuk sebuah kasus, dan madzhab lain untuk kasus lain, sementara kedua kasus itu masih saling berhubungan. Jelas-jelas ini bukan suatu larangan, kecuali bagi pendapat yang mengharuskan berpegang teguh pada satu madzhab saja.
Pandangan tentang keharusan berpegang pada satu madzhab saja dinilai rusak, karena menunjukkan sikap taklid yang melampaui batas.
Pada zaman sahabat dan tabiin, muqallid dibebaskan untuk bertanya kepada siapa saja di kalangan ulama. Saat ia bertanya suatu masalah kepada seorang ulama, ia tidak dilarang bertanya pada ulama lain tentang kasus lain.
Talfiq juga digunakan untuk menunjukkan pendapat baru (qaul jadid) yang terdiri dari dua pendapat berbeda dalam satu masalah, atau dengan sederhana bisa disebut “pembaruan pendapat baru”. Selain itu, juga dipakai sebagai fatwa mujtahid yang terdiri dari dua pendapat tanpa ada pengunggulan (tarjih) di antara keduanya. Ini dikarenakan mufti ingin mengeluarkan mustafti (orang yang meminta fatwa) dari posisi sulitnya.
Inilah yang disebut dengan "MURO'ATUL KHILAF", yaitu mengambil dalil yang bertentangan namun telah mempunyai dalil dalam suatu ketetapan hukum yang telah dihukumi. Salah satu contohnya adalah membaca Basmalah dalam salat fadhu. Di mana dalam mazhab Maliki hal tersebut adalah makruh, sedangkan menurut Mazhab Syafi’i wajib. Jadi ketika ada orang Maroko, Sudan, Tunis atau yang bermazhab Maliki salat di Indonesia dan membaca basmalah, maka di situlah dia sedang mempraktikkan Muro’atul Khilaf.
Ulama berbeda pendapat tentang talfiq yang dalam definisi pertama “menjalankan suatu masalah dengan cara yang tidak sesuai dengan satu pun mujtahid terdahulu”. Terkadang, muqallid melakukannya dengan sengaja, kadang juga tidak.
Apabila hal itu dilakukan tanpa sengaja, maka jelas tidak dilarang. Karena ijma’ bahwa ia boleh mengamalkan fatwa dari mujtahid siapapun. Ia tidak dicegah meminta fatwa kepada Syafi’iyyah tentang wudlu dan meminta fatwa kepada Malikiyah tentang batalnya wudlu. Kemudian ia wudlu tanpa membasuh keseluruhan kepala dan menyentuh wanita lain.
Apabila talfiq dilakukan sengaja, maka tidak sah. Karena bisa jadi ia jatuh dalam perbedaan nash-nash syariat yang ia tidak ketahui. Dan karena menjalankan pendapat baru tanpa ada fatwa merupakan tindakan yang didasari hawa nafsu. Itu bertentangan dengan prinsip beragama.
Sebagian ulama memberikan syarat penting dalam talfiq:
-1 Tidak bertentangan dengan ijma’ atau nash al Quran dan sunnah,
- 2 Tidak digunakan untuk membebaskan diri dari tanggungan beban (tidak untuk meringankan).
Namun, menurut madzhab Maliki, boleh taklid kepada setiap madzhab Islam yang mu’tamad (diakui), sekalipun talfiq, dalam keadaan darurat, hajat, lemah, maupun udzur. Karena talfiq tidak dilarang menurut Malikiyah, demikian juga sebagian Hanafiyah, sebagaimana kebolehan mengambil pendapat paling ringan dari beberapa madzhab. Akan tetapi, talfiq harus didasari kebutuhan dan maslahat, bukan main-main atau mengikuti hawa nafsu.
Allah berfirman :
“..." Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu"....”
(Qs al Baqarah 185).
Wallahua'lam
Baca juga :
Comments
Post a Comment