Politik Uang Itu Haram!!
Topik penting untuk dibaca:
Pernyataan ini bukan berarti menoleransi kezaliman pemimpin melainkan petunjuk bahwa betapa pentingnya kehadiran pemimpin. Dalam kumpulan individu yang majemuk, kepemimpinan berbanding lurus dengan keinginan tiap manusia untuk berada dalam sistem yang tertib, aman, tidak kacau. Islam memang tidak mengajarkan tentang cara khusus bagaimana proses pengangkatan pemimpin (nasbul imamah) dilangsungkan.
Khulafaur Rasyidun yang memimpin setelah Nabi wafat pun diangkat sebagai khalifah dengan cara yang berbeda-beda. Abu Bakar ash-Shiddiq diangkat melalui musyawarah di hadapan massa, Umar bin Khattab melalui penunjukkan Abu Bakar setelah konsultasi dengan para sahabat, Utsman bin Affan melalui tim formatur yang dibentuk Umar, sedangkan Ali bin Abi Thalib juga melalui kesepakatan masyarakat. Dengan demikian, persoalan pengangkatan kepemimpinan pada dasarnya adalah persoalan ijtihadi, yakni olah pikir sungguh-sungguh tentang sistem politik yang paling sesuai dengan kemaslahatan di zamannya.
Di negeri kita tercinta ini, proses pengangkatan pemimpin dilalui lewat proses pemilihan umum atau pemilu. Dalam pemilu, semua orang berhak diangkat sebagai pemimpin dan berhak pula memilih siapa pun untuk menjadi pemimpin. Tentu saja hak ini dibatasi oleh norma-norma tertentu, semisal tidak menghalalkan segala cara dalam meraih suatu jabatan politik.
Politik pada dasarnya sangat mulia. Ia adalah perantara bagi tujuan terselenggaranya masyarakat yang adil, aman, dan sejahtera. Tujuan tersebut adalah tujuan bersama, bukan tujuan pribadi atau segelintir kelompok. Karena hanya sebagai perantara (wasilah), bukan tujuan akhir (ghayah), politik seyogianya tak perlu dikultuskan, dilakukan secara membabibuta, hingga mengorbankan tujuan mulia dari politik itu sendiri. Mekanisme one man one vote (satu orang satu suara) dalam pemilu, kini telah mendorong para kandidat pemimpin berlomba-lomba meraup simpati dan dukungan suara. Tak jarang pula, jalan instan pun kadang ditempuh, tak hanya mengobral janji manis tapi juga menebar uang suap (money politics) agar pilihak warga jatuh pada dirinya.
Islam melarang keras praktik politik uang semacam ini. Dalam Surat al-Baqarah ayat 188, Allah berfirman:
وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan janganlah sebagian kalian memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.”
Lebih rinci lagi, dalam sebuah hadits dijelaskan bahwa uang suap mendatangkan laknat.
عَنْ ثَوْبَانَ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ وَالرَّائِشَ يَعْنِي الَّذِي يَمْشِي بَيْنَهُمَا
Dari Tsauban, dia berkata, “Rasulullah SAW melaknat pemberi suap, penerima suap, dan perantaranya, yaitu orang yang menghubungkan keduanya.” (HR. Ahmad) Dari keterangan ini tampak bahwa dosa politik uang (risywah) tak hanya diterima oleh para politisi, tapi juga tim sukses dan konstituen yang suaranya diperjual-belikan.
Di samping itu, Rasulullah SAW juga pernah bersabda sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shahih-nya :
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم “ثلاثة لا ينظر الله إليهم يوم القيامة ولا يزكيهم ولهم عذاب أليم، رجل كان له فضل ماء بالطريق فمنعه من ابن السبيل، ورجل بايع إماما لا يبايعه إلا لدنيا فإن أعطاه منها رضي وإن لم يعطه منها سخط، ورجل أقام سلعته بعد العصر، فقال “والله الذي لا إله غيره لقد أعطيت بها كذا وكذا، فصدقه رجل ” ثم قرأ هذه الآية: ( إن الذين يشترون بعهد الله وأيمانهم ثمنا قليلا). رواه البخاري
Rasulullah SAW bersabda: “ada 3 golongan yang mana Allah SWT tidak akan memperhatikan mereka pada hari Kiamat, tidak pula menyucikan mereka, dan bagi mereka azab yang pedih. Pertama, seseorang yang mempunyai kelebihan air, namun enggan untuk berbagi dengan orang lain yang membutuhkan (ibn sabil). Kedua, seseorang yang mengangkat pemimpin karena kepentingan dunia, jika ia diberinya hal tersebut maka dia reda namun jika tidak dia akan marah. Ketiga, seseorang yang mengangkat senjata setelah Salat Ashar”.
Kemudian Rasulullah SAW melanjutkan sabdanya “Demi Allah yang tiada tuhan selain-Nya, sungguh akan ku berikan kepadanya hal ini dan itu”, maka seorang laki-laki membenarkan perkataan beliau sembari membaca Surah Ali ‘Imran ayat 77 “Sesungguhnya orang-orang yang memperjualbelikan janji Allah dan sumpah-sumpah mereka dengan harga murah, mereka itu tidak memperoleh bagian di akhirat, Allah tidak akan memperhatikan mereka pada hari Kiamat dan tidak akan menyucikan mereka dan bagi mereka azab yang pedih”. (H.R. al-Bukhari)
Selain itu, sebuah kaidah fikih juga menegaskan :
ما حرم أخذه حرم إعطاءه
Sesuatu yang haram mengambilnya, haram pula memberikannya.
Imam Suyuthi dalam kitabnya al-Asybah wa al-Nazhair memberikan contoh aplikasi kaedah ini dengan kasus pemberian suap oleh seseorang kepada hakim dalam rangka menyembunyikan kebenaran. Maka dalam kasus ini memberikan suap mempunyai implikasi hukum haram, sehingga memberikannya (suap) kepada orang lain juga secara otomatis juga dilarang dalam agama, begitu pula dengan kasus money politics yang mempunyai kandungan makna yang sangat mirip dengan kasus di atas.
Kerap kali demi meraih itu, jalan instan ditempuh, mengobral janji manis hingga menebar uang suap atau dalam bentuk barang yang bertujuan mempengaruhi orang agar memilih dirinya atau kelompoknya. Suap yang dalam bahasa Arab disebut risywah.
Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdlatul Ulama sudah menetapkan sejumlah jawaban atas beberapa pertanyaan soal politik uang.
Pertama, apakah pemberian kepada calon pemilih atas nama transportasi, ongkos kerja, atau kompensasi meninggalkan kerja yang dimaksudkan agar penerima memilih calon tertentu, termasuk kategori risywah?
Jawabannya adalah tidak sah dan termasuk kategori risywah (suap). Mengapa demikian? Sebab di balik pemberian si politisi itu terkandung maksud terselubung yang jelas-jelas serupa praktik menyuap agar seseorang memilih dirinya. Pemberian tak lagi murni pemberian, melainkan ada unsur mempengaruhi pilihan politik.
Kedua, sudah lazim kita dapati, politisi memberikan sesuatu kepada calon pemilih atas nama zakat dan sedekah dari harta miliknya. Jika terbesit tujuan agar penerima memilih calon tertentu, apakah termasuk kategori risywah?
Jawabannya: pemberian zakat atau sedekah yang dimaksudkan semata-mata agar penerima memilih calon tertentu adalah tidak sah dan termasuk risywah (suap). Jika pemberian zakat atau sedekah itu dimaksudkan untuk membayar zakat atau memberi sedekah, dan sekaligus dimaksudkan agar penerima memilih calon tertentu, maka zakat atau sedekah itu sah, tetapi pahalanya tidak sempurna, dan sesuai perbandingan antara dua maksud tersebut. Semakin dominan ambisi politiknya dalam pemberian ini, semakin besar pula lenyapnya keutamaan tersebut.
Ketiga, bagaimanakah hukum menerima pemberian yang dimaksudkan untuk risywah oleh pemberi, tetapi tidak secara lisan?
Jawabanya adalah haram bila penerima mengetahui maksud pemberian itu dimaksudkan untuk risywah. Adapun bila penerima tidak mengetahuinya, maka hukumnya mubah. Tetapi bila pada suatu saat mengetahui, bahwa pemberian itu dimaksudkan untuk risywah, maka penerima wajib mengembalikannya.
Di musim pemilu, kecil sekali kemungkinan orang tidak memahami maksud terselubung bila seorang politisi memberinya uang meski tanpa berbicara apa pun. Ketika status risywah benar-benar jatuh, maka ia sama dengan memakan harta haram.
Keempat, apakah penerima risywah haram memilih calon sesuai maksud diberikannya risywah sebagaimana ia diharamkan menerima risywah?
Apabila penerima risywah (suap) memilih calon sesuai maksud diberikannya risywah karena pemberian risywah, maka hukumnya haram sebagaimana ia haram menerima risywah. Tetapi jika ia memilihnya semata-mata karena ia merupakan calon yang memenuhi syarat untuk dipilih, maka hukum memilihnya mubah (boleh). Bahkan wajib memilihnya bila ia merupakan calon satu-satunya yang terbaik dan terpenuhi syarat. Sedangkan menerima risywah tetap haram.
Pada saat ini peranan Alim Ulama, tokoh masyarkat dan lainnya, sangat penting sekali untuk memberikan pengertian pada masyarakat awam tentang haramnya suap(risywah).
Kalau tidak mereka siapa lagi yang akan menyalakan lentera kebenaran dimuka bumi ini? terhusus di negeri kita tercinta. Uang, janji manis memang menggiurkan siapa saja tak luput juga para tokoh agama maupun masyarkat. Namun saya yakin Ulama itu punya ilmu, dengan ilmunya tak mudah tergiur janji manis, apalagi sampai mengorbankan muruah keulamaanya dengan mengemis dijanjikan syaiun qolil duniawi dan tidak akan berbuat seperti masyarakat awam.
WAllahu'alam
Semoga bermanfaat
Topik penting lainnya :
Comments
Post a Comment