Cerita Debat Kiai Kampung Dan Sarjana Libral
Baca juga: Kisah Indah Cinta Sahabat Ali Dan Fatimah Az-Zahra
Inilah Cerita kiai kampung yang pernah saya posting di blog lama saya sinarmentarioke.blogspot.com.
Inilah Cerita kiai kampung yang pernah saya posting di blog lama saya sinarmentarioke.blogspot.com.
Disuatu perkampungan di lereng pegunungan ada seorang kiai yang sangat sederhana dan istiqomah. Beliau sehari hari mengajar ngaji selepas aktivitas bertani dan terkadang juga berdagang kecil kecilan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Kebetulan kiai kampung ini menjadi imam musholla dan sekaligus pengurus ranting NU di desanya. Suatu sore yang cerah selepas sholat ashar kia kampung duduk di depan rumah sambil menyading secangkir kopi dan rokok suatu kegemarana beliau yang mungkin sulit dihentikan hehehe..
Kebetulan sore itu tidak mengajar ngaji karena hari jumat adalah hari libur ngaji seperti pada umumnya. Ketika sedang asyik menikmati kopi dan rokok yang sudah di nyalakan dan rokok ada di kedua bibirnya.. Buul.. Mengebul Asap keluar dari mulutnya.. tiba tiba dari arah depan datang tamu seorang pemuda yang berpenampilan mengenakan gamis abu abu mengantung dan celana menggantung juga, berjenggot lebat ada tanda hitam tebal dijidatnya. Ternyata dia adalah seorang sarjana yang pernah mengenyam pendidikan di Timur Tengah.
Setelah tamu dipersilahkan masuk dan di suruh duduk dan belum sempat sang kiai memyuruh istrinya atau anaknya untuk membuatakan minum seperti kebiasaan sang kiai ketika ada tamu... tanpa basi basi tamu itu berkata untuk mengajukan pertanyaan pada sang tuan rumah yaitu kiai kampung itu. Tamu itu begitu PD (Percaya Diri), karena merasa lebih alim dan berpengalaman belajar di luar negeri serta mendapat legitimasi akademik, plus telah belajar Islam pada ustadz² yang terkenal di medsos dan di media. Sedang yang dihadapi hanya kiai kampung, yang lulusan pesantren salaf dan tidak punya pengalaman keluar daerah apa lagi kemanca negara setelah sepulang nyantrinya.
Tentu saja, tujuan utama tamu itu mendatangi kiai untuk mengajak debat dan berdiskusi seputar persoalan keagamaan kiai.
Santri liberal ini tanpa basa basi sebagai adab seorang yang bertamu langsung menyerang sang kiai: “Kiai Sudahlah tinggalkan kitab-kitab kuning (turats) itu, karena itu hanya karangan ulama kok. Kembali saja kepada al-Qur’an dan hadits,” ujar santri itu dengan nada menantang.
Belum sempat menjawab, kiai kampung itu dicecar dengan pertanyaan berikutnya. “Mengapa kiai kalau dzikir kok dengan suara keras dan pakai menggoyangkan kepala ke kiri dan ke kanan segala. Kan itu semua tidak pernah terjadi pada jaman nabi dan berarti itu perbuatan bid’ah,” kilahnya dengan nada yakin dan semangat.
Mendapat ceceran pertanyaan, kiai kampung tak langsung reaksioner. Malah sang kiai mendengarkan dengan penuh perhatian dan tak langsung menanggapi. Malah kiai itu menyuruh anaknya mengambil termos dan gelas, karena dari awal kiai tidak sempat menyuruh membuatkan minum untuk tamunya.
Kiai tersebut kemudian mempersilahkan minum, tamu tersebut kemudian menuangkan air ke dalam gelas. Lalu kiai bertanya: “Kok tidak langsung diminum dari termos saja. Mengapa dituang ke gelas dulu?,” tanya kiai santai. Kemudian tamu itu menjawab: Ya ini agar lebih mudah minumnya kiai,” jawab santri liberal ini. Kiai pun memberi penjelasan: “Itulah jawabannya mengapa kami tidak langsung mengambil dari al-Qur’an dan hadits. Kami menggunakan kitab-kitab kuning yang mu’tabar, karena kami mengetahui bahwa kitab-kitab mu’tabarah adalah diambil dari al-Qur’an dan hadits, sehingga kami yang awam ini lebih gampang mengamalkan wahyu, sebagaimana apa yang engkau lakukan menggunakan gelas agar lebih mudah minumnya, bukankah begitu?”. Tamu tersebut terdiam tak berkutik.
Kemudian kiai balik bertanya: “Apakah adik hafal al-Qur’an dan sejauhmana pemahaman adik tentang al-Qur’an? Berapa ribu adik hafal hadits? Kalau dibandingkan dengan ‘Imam Syafi’iy siapa yang lebih alim?” Santri liberal ini menjawab: Ya tentu ‘Imam Syafi’iy kiai sebab beliau sejak kecil telah hafal al-Qur’an, beliau juga banyak mengerti dan hafal ribuan hadits, bahkan umur 17 beliau telah menjadi guru besar dan mufti,” jawab santri liberal. Kiai menimpali: “Itulah sebabnya mengapa saya harus bermadzhab pada ‘Imam Syafi’iy, karena saya percaya pemahaman Imam Syafi’iy tentang al-Qur’an dan hadits jauh lebih mendalam dibanding kita, bukankah begitu?,” tanya kiai. “Ya kiai,” jawab santri liberal.
Kiai kemudian bertanya kepada tamunya tersebut: “Terus selama ini orang-orang awam tatacara ibadahnya mengikuti siapa jika menolak madzhab, sedangkan mereka banyak yang tidak bisa membaca al-Qur’an apalagi memahami?,” tanya kiai. Sang santri liberal menjawab: “Kan ada lembaga majelis yang memberi fatwa yang mengeluarkan hukum-hukum dan masyarakat awam mengikuti keputusan tersebut,” jelas santri liberal.
Kemudian kiai bertanya balik: “Kira-kira menurut adik lebih alim mana anggota majelis fatwa tersebut dengan Imam Syafi’iy ya?.”. Jawab santri: “Ya tentu alim Imam Syafi’iy kiai,” jawabnya singkat. Kiai kembali menjawab: “Itulah sebabnya kami bermadzhab ‘Imam Syafi’iy dan tidak langsung mengambil dari al-Qur’an dan hadits,”.” Oh begitu masuk akal juga ya kiai!!,” jawab santri liberal ini.
Tamu yang lulusan Timur Tengah itu setelah tidak berkutik dengan kiai kampung, akhirnya minta ijin untuk pulang dan kiai itu mengantarkan sampai pintu pagar.
Setelah tamu pergi sang kiai kampung kembali keteras rumah duduk dan menghabiskan sisa kopi yang tinggal sedikit sekali dan menyalakan putung rokok yang lumayan agak panjang kira kira seharga 500 rupiah.. Srupuut kopi di minum, kemudiaann .. Buuuulll rokok di hisap dan asap di kebulkan dari mulutnya ...Alhamdulillah.
Comments
Post a Comment