Menggabungkan Beberapa Niat Dalam Satu Ibadah
Menggabungkan dua niat atau lebih dalam melakukan satu ibadah telah dibahas secara panjang lebar oleh para ulama dalam masalah niat.
Secara umum hal tersebut boleh saja dilakukan berdasarkan keumuman hadits Rasulullah : "Sesungguhnya setiap amalan itu akan terpaut dengan niat pelakunya. Dan sesungguhnya setiap orang akan diberi balasan sesuai dengan niatnya masing²".
(Hr Bukhari, Muslim).
Barangsiapa yang pergi ke masjid dengan niat untuk shalat berjama'ah (dan demikianlah kebiasaannya), dan disamping itu ia pun berniat I'tikaf, dan berniat menjumpai dan bersilaturrahim dengan seseorang yang didengarnya akan datang hari itu, dan berniat mengaji di majelis ta'lim yang diadakan di masjid, dan berniat menyampaikan sedekahnya dan niat amal lainnya, maka ia akan mendapatkan pahala dari seluruh amalan shaleh yang diniatkannya itu, jika ia berhasil menyelesaikan seluruhnya.
Barangsiapa membuka FB, WA dan medsos lainnya dengan niat belajar agama lewat status atau catatan para alim, bertanya masalah agama yang hendak diketahuinya, bersilaturrahim dari jarak jauh, dan niat baik lainnya, maka tentu ia akan mendapat pahala mempelajari agama dan pahala² lain dari niat yang ia tetapkan dalam hatinya.
Para ulama kontemporer yang membuat akun resmi via fb atau WA, twitter, da medsos lainnya, dengan niat untuk menyebarkan agama, mengarsipkan catatan dan tulisan, menerima dan menjawab pertanyaan² agama, meramaikan dunia maya dengan kebaikan, "menangkal" syubhat² agama yang banyak disebarkan melalui internet, medsos, maka tentu ia akan mendapat pahala yang lebih dari mereka yang sekedar membuat akun tersebut untuk tetap menjaga hubungan kekerabatannya dengan keluarga jauh atau sahabat.
Dan karena itu pula, maka dikenal dalam sebuah pernyataan : "Niat itu adalah perdagangan para ulama."
Ali bin Fudhail bin 'Iyaadh berkata, saya pernah mendengar ayahku bertanya kepada Abdullah bin Mubarak, "Engkau biasa menyeru kami untuk berlaku zuhud dan sederhana. Namun saat ini kami melihatmu dengan barang dagangan yg begitu banyak. Bagaimana engkau menjelaskannya ?!.".
Beliau menjawab :
يا أبا علي، إنما أفعل هذا لأصون وجهي، وأكرم عرضي، وأستعين على طاعة ربي.
"Wahai Abu Ali, saya melakukannya untuk menjaga kehormatan dan harga diriku, serta agar aku dapat menggunakan (hasilnya) untuk melakukan ketaatan kepada Rabb-ku.". Mendengarnya, Fudhail berkata;
يا ابن المبارك، ما أحسن ذا، إن تم ذا
"Wahai Ibnu Mubarak sungguh baik (perolehanmu) jika engkau berhasil mengkompromikan seluruhnya dalam satu jenis ketaatan yg engkau lakukan itu.".
(Siyarul a'laam).
Alasan besar dari bolehnya penggabungan demikian selain dari keumuman makna hadits niat yang telah disampaikan adalah bahwa seluruh pekerjaan itu memiliki sifat yang selaras dan tidak bertolakbelakang atau saling bertentangan. Maka tidak mengapa menggabungkan niat yang berbeda pada waktu bersamaan dari satu jenis ibadah yang dilakukan, yaitu jika perbuatan² tersebut memiliki sifat yg selaras dan tidak bertolak belakang atau saling bertentangan.
Hanya saja, dalam penjabarannya, ulama berbeda pandang dalam menilai jenis amalan yang memiliki sifat yang telah disebutkan tadi. Diantara masalah yang menuai kontroversi panjang akibat dari perbedaan tersebut adalah hukum menggabungkan niat puasa qadha dengan puasa enam hari di bulan syawwal.
Penjabaran masalah ini cukup panjang dan berikut ini hanya disampaikan pendapat yang menyatakan bolehnya penggabungan itu;
Ibnu Hajar al Haytsami berkata : "Berpuasa Sunnah pada hari senin, kamis, 6 hari di bulan syawwal dan hari asyuura' adalah bentuk pengagungan terhadap hari-hari (mulia) tersebut. Dan maksud / tujuan (baik) ini akan tercapai dengan melakukan jenis puasa apa pun pada hari² tersebut.
Dalam pernyataan yang lain, Beliau berkata : "Qiyas bolehnya menggabungkan (niat) puasa wajib dengan Sunnah dapat dilakukan dengan berdasar pada kebolehan menggabungkan shalat dzhuhur dan shalat tahiyyatul masjid dalam satu niat. Maka sebagaimana shalat tahiyyatul masjid telah tercukupi dengan shalat dzhuhur, demkianlah puasa 6 hari bulan syawwal, puasa arafah, puasa asyuura, dan yang sejenisnya; pun telah tercukupi ketika seorang berpuasa qadha atau kaffarah (bertepatan dengan hari² tersebut).
Sebabnya karena maksud dari syari'at shalat tahiyyatl masjid itu adalah terlaksananya shalat (secara mutlak) pada waktu itu (ketika masuk masjid dan sebelum duduk), demikian juga dengan syari'at puasa Sunnah pada hari² tersebut, pun tujuannya adalah agar seorang berpuasa pada hari² tersebut (apa pun jenis puasanya).
Imam Suyuthi berkata : "Seandainya ada seorang melakukan puasa qadha atau puasa Sunnah atau puasa kaffarat bertepatan dengan hari 'Arafah, dan disamping berniat melakukan salah satu dari jenis puasa tersebut, pun ia sertakan niat puasa 'Arafah bersamanya, maka berkenaan dengan masalah itu, al Baazariy berfatwa bahwa puasanya sah dan ia mendapat keutamaan dua jenis ibadah yang disatukannya tersebut.
Demikian juga pandangan serupa dinyatakan oleh beberapa ulama, sebagaimana yang disampaikan oleh Ibnu al Hamaam, "seorang tokoh ulama bermadzhab Hanafi".
Wallahua'lam
Semoga bermanfaat
(Imam Suyuthi Kitab: الْأشْباه و النظائر فى الْفروْع / al Asybah wan Nadzir Fil Furu).
والله اعلم
Topik lainnya:
Comments
Post a Comment