Hukum Menceritakan Hubungan Suami Istri Pada Orang Lain



“Semalem ya setelah aku mengkonsumsi jamu itu, badanku terasa enak sekali aku jadi perkasa dan istriku puas sekali” kata seorang suami pada teman²nya.
"Jeng.. tau ga suamiku itu semenjak aku ikut senam kegel ia puas sekali saat aku melayaninya, apalagi ketika aku mengenakan pakaian seksi yang aku beli waktu itu, pokoknya suamiku jadi tambah greeeng," ujar seorang istri saat kumpul dengan rekan-rekannya.

Kalimat² seperti itu rupanya memancing bukan hanya pada lelaki, tetapi juga rekan wanita. Sambil sesekali diselingi tawa keras seolah sebuah lawakan, lalu dengan santainya mereka panjang lebar menceritakan hubungan dengan istri atau suaminya. Perbincangan "semacam" dengan gaya bahasa yang berbeda, bukan hanya terjadi di sebuah tempat kerja, Kadang secara tak sengaja kita mendengarkannya juga di pasar, di tempat duduk², di warung dan bahkan seiring pesatnya perkembangan media sosial terjadi juga di media.
Agaknya, mereka yang gemar membicarakan atau menceritakan soal persenggamaan dengan suami atau istri tidak mengetahui tentang hukumnya. Dianggapnya hal tersebut biasa² saja, bahkan mendatangkan kebanggaan tersendiri ketika dirinya dianggap hebat dalam urusan jima’ seperti itu.
Pentingnya pembahasan hukum menceritakan hubungan suami istri ini, hampir setiap kitab fiqh yang berbicara tentang pernikahan dan keluarga tak lupa pula membahasnya. Bahkan ada yang menempatkannya dalam sub bab tersendiri seperti pada Fikih Sunnah.
Membicarakan atau menceritakan persengamaannya kepada orang lain pada dasarnya adalah Haram. Para ulama’ mendasarkan keharaman hal tersebut dengan hadist dari Abu Hurairah ra. Ia berkata :
“Rasulullah shalat bersama kami. Setelah salam, beliau membalikkan badannya ke arah kami lalu bersabda, “tetaplah berada di tempat duduk kalian masing², adakah di antara kalian orang yang bila mendatangi istrinya menutup pintu dan selambu, kemudian keluar dan menceritakan kepada orang lain dan mengatakan, “Aku telah melakukan begini dan begitu dengan istriku, dan melakukan ini dan itu bersamanya?”
"Mereka semua terdiam. Kemudian beliau menghadap ke arah kaum perempuan dan bersabda, “Adakah di antara kalian yang menceritakannya?”
Maka berdirilah seorang gadis berdada montok dengan salah satu lututnya dan mendongak supaya dapat dilihat Rasulullah. dan didengar perkataannya. Ia berkata, “Benar, demi Allah, mereka membicarakannya.”
Maka beliau bersabda, “Tahukah kalian apa perumpamaan orang yang melakukan itu adalah seperti halnya setan laki-laki dan setan perempuan. Salah seorang di antaranya bertemu pasangannya itu di sebuah lorong, kemudian ia melampiaskan hajadnya kepadanya dan orang² pun menyaksikannya.”
(Hr Ahmad, abu Daud).

- Jadi, jika seorang suami atau istri menceritakan kepada orang lain tentang persetubuhannya, dengan maksud membanggakan diri atau sekedar agar orang lain mengetahui, maka hukumnya adalah haram.
- kedua, jika seorang suami atau istri menceritakan kepada orang lain tentang persetubuhannya dengan maksud mengeluhkan pasangannya atau membuka kelemahan/kekurangannya, maka hal ini juga haram.
- ketiga, jika seorang suami atau istri menceritakan kelemahan/kekurangan suaminya kepada ahlinya (misalnya ulama yang mumpuni, dokter spesialis, psikolog) dengan maksud mendapatkan solusi dari masalah seksualitas, alat reproduksi maupun penyakit yang berhubungan dengan seksualitas, maka hal ini dibolehkan. Dengan syarat, tetap menjaga kerahasiaan agar orang lain tidak mengetahuinya.
Dari Abu Said al Khudri ra, Nabi bersabda,
إن من أشر الناس عند الله منزلة يوم القيامة الرجل يفضي إلى امرأته وتفضى إليه ثم ينشر سرها
“Sesungguhnya termasuk manusia paling jelek kedudukannya di sisi Allah pada hari kiamat adalah laki-laki yang menggauli istrinya kemudian dia sebarkan rahasia ranjangnya.”
(Hr Ahmad, Muslim).

Iman an Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim menjelaskan bahwa hadits di atas merupakan dalil tentang keharaman bagi pasangan suami istri untuk menceritakan adegan ranjangnya kepada orang lain, baik itu cerita soal gaya ataupun rayuannya. Sedangkan apabila yang bersangkutan hanya sekedar mengatakan bahwa dirinya telah berjima, tanpa ada maksud tertentu, maka hukumnya makruh karena hal itu dapat menurunkan harga diri. Sementara itu, jika yang bersangkutan menceritakannya dengan tujuan yang sangat penting, semisal untuk mengingkari tuduhan negatif, maka hukumnya tidak makruh.

Wallahua'lam

Baca juga :

Comments

Popular posts from this blog

Wali Malamatiyyah

Bait Syair Yang Terukir Di Gembok Makam Rasulullah SAW

Pemimpin Cerminan dari Rakyatnya