Fikih Dan Tasawuf

Baca juga :

Masyhur imam Malik bin Anas berkata :
“Man tasawaffa wa lam yatafaqa faqad tazandaqa, wa man tafaqaha wa lam yatasawaf faqad tafasaq, wa man tasawaffa wa taraqaha faqad tahaqaq”.
“Barangsiapa mempelajari/mengamalkan tasawuf tanpa fiqih maka dia telah zindik (meyimpang), dan barangsiapa mempelajari fiqih tanpa tasawuf dia tersesat, dan siapa yang mempelari tasawuf dengan disertai fiqih dia meraih Kebenaran dan Realitas dalam Islam.
Kita perlu menengok pada sosok yang satu ini : Abdul Wahab bin Ahmad Sya’rani (1493–1565). Seorang ulama dari Mesir yang bermazhab Syafi’i namun juga dikenal sebagai seorang sufi. Beliau hafal Qur’an saat usia 7 tahun, sewaktu kecil sudah terlihat tanda-tanda "karamahnya" ketika ia terjatuh di sungai Nil namun ia diselamatkan oleh seekor buaya.
Beliau belajar fiqh, hadits dan disiplin ilmu keislaman lainnya dari para masyayikh terkemuka pada masanya. Beliau bercerita sendiri bagaimana susah payah menempa dirinya ketika menempuh suluk. Beliau bahkan mengaku belajar langsung kepada Nabi Khidr. Walhasil banyak kisah unik seputar beliau ini, termasuk beliau saat shalat bisa mendengar binatang, bebatuan dan dinding serta pilar masjid bertasbih mengagungkan Allah.
Di tangan beliau, fiqh dan tasawuf bisa berjalan beriringan. Di tangan beliau, perbedaan mazhab bisa terlihat indah. Bahkan beliau memberikan penilaian mana pendapat fiqh yang tasydid (berat) dan mana yang takhfif (ringan). Yang berat untuk para ulama, dan pendapat yang ringan dipilihkannya untuk orang awam. Inilah al Mizan al Kubro (timbangan besar) ” yang beliau berikan kepada kita; untuk menimbang-nimbang pendapat fiqh yg ada.
Dalam kitab al Mizan al Kubro beliau meyampaikan suatu ilmi fiqh degan sangat manis untuk dicerna para pentahqiq (orang yang mempelajari, meneliti) ilmu² fiqh melalui sebuah tarikh ahlaq para raksasa² mutjahid.
Diceritakan imam Safi'i ulama yang zuhud (meniggalkan kemewahan dunia) ini berakibat menjadikan beliau awalnya "sinis" kepada orang saleh yang kaya. Bahkan kepada salah satu gurunya, Imam Malik. Imam Maik ulama yang kaya raya di Madinah, bajunya selalu bagus, berpenampilan perlente, karpet di rumahnya mewah.
Melihat itu semua, sang Imam sempat iskal (janggal), "Orang saleh kok memiliki harta banyak.” Kata Imam Syafi’i dalam hati.
Imam Malik tahu apa yang jadi kerisauan muridnya,setelah hampir 3 tahun belajar kitab al Muwatta’ kepada Imam Malik, Imam Syafi’i bertanya : “Aku sudah selesai belajar dengan kepadamu Syaikh. Lalu kepada siapa lagi aku akan belajar?”
Imam Malik menjawab : "Seandainya Imam Abu Hanifah masih hidup, belajarlah kepadanya. Tapi karena beliau sudah wafat, belajarlah kepada muridnya. Namanya Muhammad bin Hasan Al-Saibani di Irak,” jawab Imam Malik.
(perlu diketahui imam Abu Hanifaf wafat 150H bertepatan dengan tahun lahirnya imam Safi'i).
Imam Syafi’i patuh pada perintah Imam Malik. Ketika akan pergi belajar ke kediaman Muhammad bin Hasan di Irak, Imam Malik memberikan beberapa dinar kepada Imam Syafi’i sebagai bekal untuk belajar. Bila dihitung dengan kurs rupiah sekarang, uang yang diberikan oleh Imam Malik senilai kurang lebih enam puluh juta rupiah.
Imam Syafi’i mulai berpikir, “Guru-guruku yang lain yang miskin tak pernah memberiku bekal seperti ini. Jangan² orang saleh yang punya uang banyak itu memang lebih baik.”
Kendati demikian, Imam Syafi’i masih iskal pada orang saleh yang kaya. Dalam pikirannya, idealnya, orang saleh tak perlu memikirkan dunia dan hidup sederhana.
Sesampai di Irak dan bertemu dengan syaikh Muhammad bin Hasan, Imam Syafi’i makin terperangah melihat di meja tamu rumah Muhammad bin Hasan, ada kepingan² emas. Muhammad bin Hasan biasa menghitung hartanya di ruang tamu.
Imam Syafii semakin iskal (janggal). Ternyata calon gurunya lebih kaya dari Imam Malik. Gelagat tidak senang Imam Syafi’i bisa dibaca oleh Muhammad bin Hasan.
“Kamu tak senang ada orang saleh yang kaya?” tanya Muhammad bin Hasan.
“Ya saya kurang suka.” Tukas imam Syafi'i.
“Ya sudah kalau begitu kuberikan saja hartaku ini kepada orang yang ahli maksiat. Bagaimana?”
“Waduh Jangan begitu, Syaikh. Malah bahaya nanti kalau uangnya diberikan ke ahli maksiat.” Sergah imam Safi'i.
“Bila demikian, berarti tak apa-apa kan bila ada hamba Allah yang saleh kaya?” tanya Muhammad bin Hasan lagi.
Imam Syafi’i menjawab “Iya. Tidak masalah, Syaikh. Dari pada diberikan kepada ahli maksiat malah digunakan hal-hal yang berdosa, malah mudharat.”
Setelah kejadian itu, Imam Syafi’i tak lagi memiliki pikiran "sinis" kepada orang saleh yang kaya. beliau menyadari pikirannya yang keliru.
(Mizan al-Kubro karya Imam Sya’roni) .

Wallahualam

Semoga bermanfaat 

Comments

Popular posts from this blog

Wali Malamatiyyah

Bait Syair Yang Terukir Di Gembok Makam Rasulullah SAW

Pemimpin Cerminan dari Rakyatnya